47. Satu Hal Yang Pasti

162 46 2
                                    










Waktu bersama Winnie cukup berkurang setelah hari itu. Tampaknya Papa Winnie benar-benar melarang keras untuk berdekatan dengan dia kecuali ketika sekolah.

Gibran tak mengerti, dia kehilangan ide. Kini antara Winnie dan Gibran seakan ada jarak yang terbentang. Detik-detik waktu terbuang sia-sia. Dan hingga saat ini Gibran masih merasa rindu setengah mati.

Lalu kala itu ada sesuatu yang berbeda. Winnie tidak dijemput Papa, tapi ada motor putih yang berhenti di gerbang sekolah. Gibran memandangi itu tanpa jeda. Sampai tatap matanya dibalas seketika, dia seolah tak ingin memutus pandang sedetikpun.

Ada kilat kerinduan yang tak tersirat dalam bola mata hitam teduh Gibran disana. Dibalas tatap terkejut Winnie yang masih menggantungkan tangan pada kaitan helm.

"Dek?"

Shandika Deon si kakak laki-laki Winnie memanggil heran, tapi merasa tak ada respons yang diinginkan membuat dia mengikuti tatap pandang sang adik yang dituju untuk siapa.

Ada pemuda dengan jaket denim yang bisa ia lihat di seberang sana. Deon bisa merasa sesuatu yang pernah ia rasakan dulu. Tentang kerinduan yang mendalam, meskipun masih bisa ia lihat dalam jangkauan.

Begitu saja, ujung bibir Deon tertarik samar. Dia menertawakan ini, sebuah kenangan lama yang menariknya dalam cerita dulu. Deon mengerti posisi Winnie yang menurutnya serba salah. Karena ini menyangkut dua orang yang disayanginya.

Antara Ayahnya sendiri dan kekasih hatinya.

Siapapun pasti akan menempatkan Ayah berada dalam posisi pertama. Namun melihat konteks masalahnya kali ini, Winnie seperti tak bisa memilih. Dia bingung dan ini pilihan yang sulit.

"Winnie,"

"Eh iya, A? Maaf, maaf, kenapa?"

Konsentrasi Winnie benar-benar bercabang kemana-mana. Terbelah begitu saja. Gurat wajahnya tak seceria biasanya, kini bola mata bersinar itu ada selip sendu yang samar. Dan Deon seperti melihat dirinya sendiri di masa lalu.

"Perlu ngobrol?"

Winnie melirik tak mengerti, "Ngobrol apa?"

Ketika pandangan kakak laki-lakinya itu menunjuk sosok pemuda jaket denim, kelopak matanya refleks melebar. "Nggak akan cepu da, A bolehin."

"A Deon... serius?"

Bersama kekeh lembutnya, Deon mengangguk tenang. Tanpa kata membuka kaitan helm Winnie dan membukanya begitu saja. Membiarkan gadis itu termenung dalam diam, terhanyut dalam ketidaksadaran.

"Telpon A kalo udah beres ngobrolnya, gimanapun kamu pulangnya harus sama A."

Dan ketika kesadarannya ditarik kembali, Winnie mengulas senyum lebar. Kelopak matanya berbinar senang, terus melangkah riang pada keberadaan Gibran yang jadi melebarkan mata.

Tatkala eksistensi Winnie ada di depan mata, juga motor Shandika Deon yang sudah berbelok arah sampai tak terlihat dalam pandang, Gibran baru tersadar. Kerutan di ujung bibirnya tertarik lebar.

"Win..."

Gibran tak bisa menyembunyikan perasaannya kini, bahwa ia sangat rindu Winnie.

"I miss you so bad."







**





Winnie mengayunkan kaki selagi menunggu Gibran keluar dari Alfamart. Pemuda itu datang menenteng beberapa makanan ringan dan susu kotak strawberry yang disukai Winnie.

Melihatnya, Winnie terkekeh ringan. Menerima dengan senang hati, "Kak Iban mau?"

"Nggak usah, aku udah beli soda." sahutan Gibran disertai suara kantong keresek yang berbunyi, tampak mengeluarkan sesuatu. "Aku ada es krim, mau nggak?"

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang