42. Romansa Asia Afrika

317 60 13
                                    


















Kalian perlu tahu jika menjalin hubungan dengan Gibran bisa secanggung ini. Dalam artian, Winnie selalu ingin terlihat sempurna tanpa cela. Menjaga imej, juga perlunya membiasakan diri bahwa kali ini Gibran adalah kekasihnya.

Ada satu dua sikap yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, karena baru-baru ini Gibran melakukannya untuk memenuhi kriteria idaman sebagai seorang pacar. Bukannya gemas sekali? Tapi Winnie selalu saja kikuk dan deg-degan sendiri.

Setiap senyum hangat pemuda itu yang menyambut di depan gerbang ketika berangkat sekolah pagi itu, juga usapan lembut di puncak kepalanya yang terasa menyentuh kalbu. Dan makin lama, Gibran sudah berani meraih telapak tangannya untuk ia genggam. Tanpa kata.

Winnie masih ingat kala itu di minggu ke dua setelah jadian, Gibran mengajaknya jalan-jalan keliling Bandung. Semacam kencan pertama setelah jadian kah? Winnie pikir begitu. Dan seharian itu Winnie menikmati setiap detiknya dengan senyum lebar.

Untuk ukuran anak SMA, ketika malam minggu Gibran mentok-mentok mengajaknya makan di pinggir jalan. Sambil menikmati suasana malam yang ramai diisi hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang.

Katanya begini, "Aku mah belum bisa ajakin kamu ke restoran mewah da, Win."

Lalu Winnie bertanya dengan jahil, "Kenapa atuh? Padahal aku pengen deh ngerasain makanan orang kaya."

"Yaudah biar nanti aja setelah aku gajian. Kalo ada waktu santai buat jasa fotografi, ntar aku ajakin deh. Ngan takutnya pas dateng kesana teh akunya katro. Takut malu-maluin kamu da, aslina."

Tawa Winnie mengudara dalam sekejap, "Kak Iban kenapa mikirnya gitu deh?"

Gibran terkekeh kecil, "Ih iya atuh beneran loh, Win."

Gelengan kecil Winnie terlihat, "Yaudah kalo gitu, makannya kayak gini aja, lebih seru. Kalo di restoran mewah mah kayaknya aku nggak bisa ketawa keras gini."

"Naha? (Kenapa?)"

"Ya malu atuh!" Keduanya tertawa, "Bayangin aja Kak, ketika orang-orang makan dalam senyap, terus suasananya hening cuma di isi sama musik klasik, terus kamu ngelucu kayak tadi, buyar udah! Kak Iban pasti malu udah ajakin aku kesana."

Gibran meraih tisu, tanpa kata mengusap sudut bibir gadis itu yang masih tertawa kecil. "Da kamu mah emang receh anaknya."

Winnie merenggut kecil, "Ih iya gera (Ih iya dong). Nggak tahu deh humor aku makin anjlok aja semenjak pacaran sama kamu."

"Heh sembarangan!"

Kemudian entah sejak kapan, tawa Winnie sudah menjadi suara favorit Gibran. Apalagi ketika tawa itu terdengar saat bersamanya.

Satu bulan menjadi kekasih dari Gibran Athala, Winnie merasa ia diperlakukan dengan baik. Terlampau baik. Sampai-sampai Winnie selalu merasa apa dia sudah memberi feedback yang sama ketika Gibran memiliki effort yang selalu sukses membuat ia gembira.

Terbilang sangat penting untuk sebuah hubungan agar selalu jujur apa yang dirasakan. Winnie pernah merasa kurang, dan ia bingung dengan cara apa mengutarakan. Dan beruntungnya, Gibran gampang membaca keadaan. Pemuda itu menatapnya dengan hangat, sirat ketulusan yang mendalam.

Kemudian bertanya pelan, "Ada yang dipikirin?"

Winnie si pemalu masih tak berani menjawab, hanya gelengan kecil menutupi gurat wajah dengan senyuman. "Nggak ada, emang kenapa?"

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang