37. Sinyal-sinyal Ketertarikan

291 70 10
                                    











Ketika sinyal-sinyal ketertarikan Winnie perlahan muncul, dibarengi  langkah demi langkah Gibran untuk gencar memberi perhatian. Rasanya seluruh hatinya berhasil dibuat terbang entah kemana.

Gibran beberapa kali menangkap senyum malu-malu Winnie. Saat rona merah pada kedua pipinya yang chubby itu menambah kesan menggemaskan, Winnie mudah tersipu. Dan ini mengundang getaran senang yang membuncah dalam dada.

Gadis itu memberikan banyak efek menggelitik yang selama ini belum Gibran rasakan. Senyum lebar Winnie mengundang riuh debaran jantungnya yang tak aman. Tingkah menggemaskannya membuat ia tak bisa berhenti mengulas senyuman memabukkan. Tawa riang gadis itu sering membuat ia kelabakan.

Winnie layaknya boneka hidup yang ia ingin dekap erat-erat dan tak ingin ia bagi untuk siapapun.

Gibran menyukai ketika suara halus Winnie mulai terdengar, memanggilnya dengan penuh perasaan.

"Eh, Kak Iban, Kak Iban."

"Kak Iban, haiiii."

"Mowning, Kak Iban, hehe."

"Kak Iban makasih yaaa."

Intonasi Winnie itu candu. Sekali saja mendengar pasti kalian dapat menyimpulkan kalau yang ngomong pasti anak lucu, menggemaskan, dan cantik tentunya. Terekam secara otomatis dan terngiang-ngiang dalam ingatan.

Tapi ketika kala itu hari-hari Gibran selalu cerah dan ceria, yang hanya isinya Winnie Teresia. Mendadak mendung tak bertenaga. Alasannya tentu Miya.

Bukan ingin menyalahkan salah satu pihak, karena ia juga sadar sepenuhnya bahwa Gibran juga sama halnya. Tapi bukankah kesempatan bermain dengan Winnie itu sulit didapat, dan dengan mudahnya ia batalkan. Hanya karena janji dengan Miya yang terlupakan.

Janji itu terjadi sebelum kejadian di Alun-alun. Makanya ketika Gibran mengiyakan ajakan Winnie untuk menemaninya melihat-lihat kamera, otomatis janji dengan Miya terlupakan begitu saja. Tapi sialnya, sudah siap segala macam, bahkan Gibran sudah isi bensin penuh, ada telepon masuk dari Miya.

"Ban, aku tahu kamu masih marah. Tapi adek aku nanyain, jadi ajarin dia liputan nggak?"

Sial. Pantang bagi Gibran mengingkari janji. Namun menilik dari waktu perjanjian membuat dia tak bisa menolak. Apalagi ketika ucapan Miya yang terkesan meremehkan, membuat harga dirinya tersinggung.

"Kamu udah janji loh, kelewatan banget sih kalau sampe nggak jadi. Masa cowok kayak kamu bisa seenaknya ingkarin janji gitu aja?"

Dan yang dikatakan Gibran hanya, "Oke, tunggu."

Yang membuat panik adalah, Gibran tak berekspektasi Winnie semarah ini. Wajah mengeruh gadis itu di depan rumahnya membuat Gibran tak bisa berkutik. Bahkan ketika jawaban singkat dan langkah kaki Winnie berlari masuk ke rumah, Gibran masih seterpaku itu. Bingung harus apa.

Lalu disana, Gibran diserang kalut. Rasa bersalah dan gundah mulai menyeruak melingkupi hati. Mengundang gelisah dan tak fokus pada adik Miya sepanjang hari.

"Ban, kamu bagian sama Winnie urutan ketiga, ya."

"Tapi Winnie nya belum dateng, Dam. Atau emang nggak akan dateng? Udah jam segini."

Efek tidak jadi jalan-jalan itu menimbulkan banyak masalah. Pertama, Winnie menghindarinya. Tak ada sapaan riang ketika bertemu di kantin. Tak ada senyuman lebar ketika berjalan bersama ke Ruang Fotografi. Kedua, dia jadi diamuk Sadam. Menyebutnya tak profesional dan menghambat program kerja baru. Ketiga, Gibran jadi galau.

Winnie Teresia si gadis mungil itu jelas menghindarinya.

Gibran sudah kepalang pusing saat otaknya benar-benar buntu untuk menolak ajakan Miya lagi dan lagi. Lalu kala itu, ketika hari kumpul fotografi kembali hadir, Sadam Zibran sudah mewanti-wanti untuk ia datang terlebih dahulu ke Ruang Fotografi pulang sekolah nanti.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang