20. Begini Rasanya Belajar Dengan Iban

330 78 7
                                    






Belakangan ini, ada sikap Gibran yang baru Winnie sadari.

Sebuah perubahan kecil yang menimbulkan banyak tanya. Sebuah ucapan tanpa subjek, sebuah aksi nyata yang membuat harap Winnie semakin tinggi memuncak.

Sebuah celah besar yang terbuka. Seolah mempersilahkan Winnie untuk memasuki dengan sukarela. Seolah melambai lambai menyuruhnya mendekat, memberi ruang temu yang lebih intim, menciptakan suasana agak lain diantara keduanya.

Sebuah jalinan kasih, antara ia dan pemuda itu.

Gibran pandai merangkai kata, mengolah kalimat agar ia terbuai. Supaya Winnie tak bisa lepas dan kembali bertahan. Agar dia masuk kedalam lubang kasih sayang yang tercipta.

Winnie semakin jatuh, lebih dalam. Dan ia lupa bagaimana caranya keluar.

Gibran Athala banyak memberikan efek kupu-kupu dalam perut. Setiap tindakan serta ucapan yang terlontar dalam bibirnya, tak pernah gagal membuat Winnie hilang kata. Merona dalam diam.

Senyuman manisnya, tingkah lakunya, Gibran seolah memberikan peluang penuh atas semuanya. Gibran menciptakan harapan yang kini Winnie rasa semakin meningkat. Pemuda itu sudah menyelipkan ruang pendekatan diantara mereka.

Berhari-hari terus berjalan, banyak cerita yang selalu ingin Winnie ceritakan. Tentang alunan melodi yang kerap Gibran nyanyikan diantara malam pada sambungan telepon, lalu tangkapan kamera yang berhasil memotret moment keduanya.

Banyak waktu yang ia habiskan hanya untuk saling bertukar pesan. Layaknya pasangan yang baru saja jadian, setiap kegiatan pasti disampaikan. Mereka sudah sejauh itu, tak salah bukan kalau Winnie kini tinggal menunggu kepastian yang sedang berjalan?

Sikap Gibran saja sudah menunjukkan ketertarikan. Ucapan Gibran saja sudah seolah sihir yang memikat hatinya. Tindakan pemuda itu yang membuat ia merasa dispesialkan. Mana mungkin Winnie menganggap ini hanya sebuah candaan?

Atau iya kah? Winnie harus percaya ini kah? Apa ia terlalu berlebihan, sehingga merasa dia jatuh cinta sendirian?

Tapi disaat pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang menyakitkan, anehnya sosok pemuda itu selalu hadir. Memberikan ucapan yang menenangkan, seolah Winnie tak boleh berpikir seperti itu. Entah itu dalam sambungan telepon, ataupun percakapan langsung sambil makan bersama di depan rumah.

Lalu hari itu, setelah beberapa bulan dia sudah bersekolah di sana, di tempat yang sama dengan Gibran. Winnie kembali dihadapkan dengan nilai ujian inggris yang menurun. Meskipun hanya ujian tengah semester, namun tetap saja itu menyebabkan dia harus belajar lebih giat lagi untuk ujian akhir semester nanti.

"Adek nggak mau les, adek bisa belajar sendiri."

Winnie membalas dengan tegas kala itu. Duduk di antara Papa dan Mama yang memperhatikan kertas ujian dalam genggaman.

"Kamu nyanyi-nyanyi Inggris tiap hari, tapi kenapa di pelajaran Inggris malah nilainya rendah gini?"

Dengusan gadis berpiyama merah muda itu terdengar. Wajahnya sudah menekuk kesal, meskipun pandangannya fokus pada layar televisi di depan sana, serta lengannya yang memeluk toples makanan, Winnie mendengar baik gumaman Papa.

"Beda ih, Papa."

"Bedanya? Sama-sama pake bahasa Inggris kan."

Mendecak. Winnie lebih baik diam bersama kunyahan keripik yang menjawab pertanyaan Papa. Karena percuma, pasti setelah ini yang ia dengar hanyalah wejangan Papa yang menyuruhnya belajar lebih keras. Dan tentunya bersama Mama yang menjadi pengawas suruhan Papa.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang