Meskipun Winnie menguatkan hati berkali-kali, Gibran masih belum bisa ia gapai.
Suara halus mendayu Gibran masih terngiang dalam telinga. Tatapan intens yang lembut tak teralihkan dalam pandang hanya menatap Miya bercerita tak bisa ia lupakan.
Dan begitu saja, Winnie merasa patah. Gejolak panas membara itu dipaksa hadir. Naik ke permukaan, memberontak untuk diutarakan.Tatap mata yang berbeda Gibran menuai kesedihan hati yang tergores perih.
Dan Winnie simpulkan sekarang, mereka memang se-dekat itu. Meskipun dibalik kata pertemanan. Mungkin terjebak kisah cinta dalam diam?
Winnie tidak tahu, dia butuh hiburan. Untuk menenangkan diri dari kecemburuan ini yang selalu hadir.
"Ya ampun, Win! Kamu laper apa doyan tuh? Astaga."
Nania sudah menganga tak paham melihat Winnie datang-datang sudah memasang wajah garang. Langkahnya panjang-panjang, bersama hentakan tak terlewatkan.
Kembali dari toilet, Nania sudah ngacir duluan pergi ke kantin bersama teman kelas lainnya. Meninggalkan Winnie yang katanya malas keluar dan ingin di kelas saja. Namun di tengah acara makannya yang kedua kali, gadis itu tiba-tiba duduk dengan kasar, memesan banyak makanan. Menimbulkan banyak pertanyaan.
"Aku laper, diem."
"Aduh euy, galak amat."
Nania meringis kecil saat tatapan sinis Winnie ia lihat. Terpaksa dia diam sejenak membiarkan pertanyaan besarnya muncul mengambang tanpa jawaban.
Ada teman sekelas mereka lainnya disana, gadis berponi rata itu tampak menyeruput kuah kaldu bakso yang dipesan.
"Eh aku mau ngomong deh." Mentari, nama lengkapnya. Gadis itu tiba-tiba membuka suara, menimbulkan tolehan keduanya.
"Kalian tau Kak Miya nggak?"
Nania mengangguk, "Tau..." namun kepalanya tak urung melirik Winnie disampingnya.
Seketika, mendengar nama itu kedua alis Winnie berkedut tak suka. Namun selanjutnya hanya melengos kasar, menjawab cuek. "Harus banget aku kenal?"
"Dih?" Mentari tampak tak percaya, "Kalem aja atuh euy, sensi banget kayak yang lagi cemburu."
Winnie mendelik, Emang cemburu. "Apa sih? Biasa aja."
Merasa Winnie dibatas kekesalan yang mulai naik lagi, Nania juga peka sendiri melihat temannya itu terlihat tidak se-ceria biasanya. Dia melerai pelan.
"Udah, Win. Emangnya kenapa gitu, Tar?"
Meskipun Winnie hanya mendelik kasar, wajah Mentari kembali ceria, memperbaiki posisi duduk. Tampak menggebu-gebu mulai bercerita, "Kak Miya kan anak Balet ya, tau nggak Kamis kemarin dia berhasil ikutan seleksi buat perwakilan sekolah kita. Keren nggak sih? Suka!"
Winnie terdiam sejenak, membatin dalam hati. Bukannya Kamis kemarin Gibran juga sedang bersama gadis itu? Oh, mungkin saja dia ditemani Gibran ikut seleksi?
Nania diam-diam masih mengawasi ekspresi Winnie sekarang. Mewanti-wanti, "Oh, terus?"
"Ih, Kak Miya juga kan anak teater. Kalau kata kakel ekskul vokal, Kak Miya anaknya emang friendly banget. Dia baik lagi, aku pernah ketemu. Cantik deh! Iya kan Nia? Kamu waktu itu ada disana kok."
Aduh! Gawat! Nania hanya meringis kaku, menganggukkan kepala menyengir. "Haha, iya. Tapi jangan terlalu berlebihan kali ya?"
"Ih! Emang faktanya gitu kok! Kak Miya itu definisi cewek idaman satu sekolah. Terus, kamu pernah denger nggak? Kak Miya pas kelas 10 pernah jadi perwakilan debat inggris se-nasional di Malang. Tembus lima besar lagi! Gimana tuh? Pasti banyak yang suka, pinter gitu."
Dengusan Winnie terdengar samar, hanya ber-oh pelan tak menanggapi dengan niat. Senyumnya terlihat terpaksa, hanya untuk mendengarkan cerita Mentari si teman kelasnya yang tak akrab-si pemuja Miya di depan wajahnya.
"Iya kan, Win? Keren kan?"
Winnie tersentak kecil, senyum tipisnya ia angkat. "Ah iya... hebat banget ya..."
"Tuh kan! Emang hebat!"
Winnie kembali membuang nafas berat, menunduk. Tatap matanya kian redup, makanan yang terlihat menggiurkan ia aduk-aduk tak minat. Hatinya kembali goyah, mengikis rasa percaya dirinya perlahan-lahan. Menurunkan semangat membara tempo hari agar tetap berjuang walau lika-liku yang harus ia terjang.
Nyatanya, Miya memang bukan tandingannya. Gadis lembut nan segudang kelebihan sepertinya jauh lebih baik dari Winnie yang hanya gadis pemalu dan anak rumahan yang jarang bisa berbaur.
Pada akhirnya, Winnie hanya berlalu darisana. Melangkah keluar kantin dengan wajah suram dan perasaan kian memberat. Mulai merasa tak bisa menerima diri sendiri.
Bahwa ia banyak kurangnya. Jauh dibanding Miya si gadis dengan segudang kelebihan yang digemari banyak orang.
**
Gumpalan awan sore hari itu terlihat berbeda dari hari biasanya. Lebih gelap, mendung. Winnie mendongak memandanginya, menarik nafas berat seolah semesta juga ikut mengejek hari nya yang sudah berat ini.
Langkah kecil gadis itu keluar dari pelataran sekolah. Menunggu sekolah sepi memang bukan pilihan yang baik, tapi Winnie tidak suka berdesakkan saling berburu siapa pulang lebih dulu.
Agaknya hari ini memang kesialan, karena Papa tidak bisa menjemput. Menyuruh pulang menggunakan angkutan umum saja. Namun di sore begini, mana ada angkot yang lewat?
Sore itu pukul lima. Hujan perlahan turun mengguyur bumi. Yang membasahi pijakan kaki, juga menghujani pohon-pohon yang menjulang tinggi. Menciptakan rintik-rintik yang perlahan jatuh membasahi kepala Winnie.
Kemudian langkah kakinya berlari cepat menuju terminal. Wajah lembabnya ia seka, melirik kanan kiri yang dipenuhi orang yang ikut menepi.
"Yah... hujan. Aku pulang gimana dong..."
Cebikan bibirnya semakin menurun, meratapi diri sendiri ditengah orang-orang yang tak ia kenali. Malangnya diri ini, Winnie sudah merasa ingin menangisi hari ini.
Walau perlu menunggu detik-detik hingga sampai ke menit tiga puluh. Seseorang datang tak terduga, menepi ikut menyampirkan jas hujan yang melekat di tubuh.
Sebagian orang sudah nekat menerjang hujan karena petang mulai datang. Namun sosok ini malah menyempatkan turun, menghampiri Winnie yang wajahnya sudah kelewat bingung.
"Hai, neduh juga?"
Suara itu... suara merdu yang bernada lembut mendayu favoritnya.
Dongak kepala Winnie kian terangkat, kelopak matanya melebar tanpa sadar. Pandangan matanya disambut senyuman cerah sosok Gibran Athala yang rambutnya lembab karena air hujan.
"Eh, hai.... Kak Gibran...."
Benar. Ini Gibran. Pemuda yang hari ini membuatnya patah hati, kini di depan matanya. Meminta izin untuk menemaninya disini hingga hujan reda.
Berdampingan di antara pergantian malam.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
note :
maaf ya, jangan ngamuk ngamuk :(
aku ngilangnya kelamaan ya cuy wkwk ( ini berharap dinotice juga sih ) 🥰