39. Diantara Dua Hati

295 68 26
                                    











Hari itu sikap Winnie berbeda.

Setelah mengantar buku yang diterima oleh Ayah gadis itu, pesannya juga diabaikan. Gibran mencoba berpikir positif, mungkin Winnie sudah tidur. Atau ada hal lain yang membuat dia tak sempat membuka ponsel. Gibran masih tak berpikir macam-macam.

Sampai ketika esoknya, ia dikejutkan dengan kedatangan Winnie di kantin kala itu. Yang paling membingungkan adalah ketika wajah gadis itu tak seperti biasanya. Ada kilat marah yang terpancar saat tatap mata mereka bertemu. Ada getar emosi ketika bibir kecil itu mulai bicara.

Gibran tak tahu apa yang terjadi, kenapa Winnie sampai semurka itu.

"Kak Iban bahkan nggak ngerasa salah, menurutku Kak Iban jahat."

"Kak Iban tolong. Padahal baru kemarin Kak Iban ngasih celah besar buat aku. Tapi belum juga waktunya, kakak udah ngecewain aku."

"Emang dari dulu tuh bukan aku ya Kak. Makasih deh udah memperlakukan aku dengan baik belakangan ini, selamat ya, Kak."

Ucapan terluka Winnie kembali terngiang-ngiang di pikiran. Mengundang tanda tanya besar yang membingungkan. Gibran masih tak mengerti arah bicara Winnie kemana, tentang apa dan apa yang sebenarnya terjadi.

Hari-hari berjalan rasanya lambat dan membosankan. Keluhan-keluhan pemuda itu menghiasi di setiap langkahnya. Bahkan tak bisa dipungkiri bahwa Gibran diserang gundah tak henti-henti.

Ada usaha yang ia lakukan demi memperbaiki hubungan. Ada langkah kaki yang selalu ia tuju pada Winnie yang selalu menghindar. Gibran dibuat tak mengerti dan dipaksa untuk memahami. Walau di sela lelahnya hari, yang isinya hanya Winnie, ucapan Sadam Zibran menimbulkan petunjuk besar.

"Ban, aku nggak tau ya ini bakalan bantu atau nggak. Tapi perlu kamu tau, kapan hari gitu aku liat Miya ke sekolah. Nggak sengaja liat dia ngobrol sama Winnie di kantin."

Gibran kentara bingung sekali, keningnya terlipat tak mengerti.

"Bukan maksud apa-apa, tapi coba temuin Miya deh, soalnya sekilas aku liat Winnie kentara banget nggak nyaman. Takutnya ya... ada problem dan berhubungan sama kamu gitu?"

Sadam Zibran menarik senyuman. Setelah menyesap air es kantin sekolah, pemuda itu bangkit berdiri. Menepuk bahunya sejenak, sebelum ucapan Sadam menyadarkan lamunannya.

"Aku harap harusnya kamu ngerti siapa yang hati kamu mau, Ban. Jangan sampe pengorbananku sia-sia setelah ini."

Gibran tercenung, memahami dengan sangat lontaran pemuda tinggi itu.






**





Pertemuan dengan Miya tempo hari membuahkan hasil yang baik. Obrolan kala itu seputar pertengkaran di Alun-alun. Miya mengaku kalah dan mencoba berdamai. Berteman sewajarnya dan menerima dengan tegar bahwa Gibran menyukai perempuan lain.

Harusnya semua itu berjalan lancar. Sebelum Winnie marah dan menjauhinya. Mendengar yang dikatakan Sadam, tidak ada salahnya ia menaruh curiga bahwa Miya berkata macam-macam pada Winnie.

Mungkin di depan Gibran, Miya seolah sudah menerima. Miya mungkin dapat tersenyum tegar dan mengatakan ia mampu hanya berteman, mencoba melupakan perasaannya pada Gibran. Namun jika kejadiannya seperti ini, Gibran harus kembali mempertanyakan apa yang sebenarnya Miya lakukan pada Winnie hari itu?

Memangnya sedekat apa mereka sampai bisa mengobrol berdua di kantin sekolah sementara Gibran tak pernah melihat keduanya akrab sama sekali?

Ini membingungkan, dan Gibran semakin pusing memikirkannya.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang