35. Siklus Perjuangan

372 72 15
                                    









Mengenai Klub Fotografi, ada cerita menarik dibalik Gibran yang awalnya sempat ingin dijadikan seorang Ketua. Bersaing dengan Sadam sehingga menciptakan dua kubu dalam anggota kelas 12.

Ini tidak seperti biasanya, angkatan kali ini mematahkan kebiasaan angkatan sebelumnya. Bahwa yang menjadi ketua dipilih dari kelas 12 terlebih dahulu, baru wakilnya kelas 11. Tapi menilik kinerja angkatan kali ini, Gibran dan Sadam menjadi pertimbangan ketat sebelum yang terpilih adalah Sadam Zibran.

Kala itu Gibran dikenal dengan kekuasaan potret memotret yang hasilnya selalu bagus. Apalagi didukung oleh sikapnya yang sehangat itu kepada siapapun, semakin membuat nama Gibran Athala banyak dikenal di kalangan siswa.

Awalnya Gibran tak berharap banyak, menjadi anggota saja sepertinya memang sudah cukup. Dulu, sebelum ia ditarik untuk mencalonkan diri menjadi Ketua. Mau tak mau, dia menerima. Siap atau tidak, Gibran bersaing dengan Sadam Zibran yang sukarela maju dengan percaya dirinya.

Dibandingkan dengan Gibran, Sadam lebih memiliki tujuan yang jelas dan tertata. Penyusunan program kerjanya tak berbelit, pembagian waktunya tak memberatkan banyak pihak, tampak adil. Darisana, Gibran menyimpan bahwa pemuda yang tingginya menjulang itu orangnya perfeksionis. Jelas menurunkan percaya dirinya.

"A, buat program kerja kayaknya bisa deh nanti collab? Kan ada salah satu yang nggak lolos, mungkin ada proker yang bagus dan bisa buat angkatan setelahnya."

"Boleh, lagipula memang biasanya gitu kan. Apalagi nggak bisa dipungkiri ya sulit banget memilih di antara kalian berdua. Soalnya emang kece-kece sih calonnya."

Gibran tertawa menanggapi, Sadam juga menyeletuk ringan, "Aduh, biasa aja sih, Kak."

"Ah itumah merendah untuk meroket."

Dan setelahnya tawa mereka mengudara. Menghiasi suasana menegangkan kala itu. Berakhir nama Sadam Zibran yang disebut lantang, bersama tepukan riuh dan Gibran mengucapkan selamat tanpa ragu.

Perkenalannya dengan Sadam memang dimulai dari sana. Gibran mempunyai hobi yang sama, meskipun hasilnya jelas berbeda. Meskipun canggung yang mengawali, tapi tak bisa ia pungkiri bahwa Sadam Zibran memberinya banyak pelajaran.

Sadam itu pintar teori, sedangkan Gibran lebih pandai dalam praktek. Dia bisa mempelajari dengan mudah dan sama sekali tak ada keraguan ketika senior bertanya mengenai seputar Fotografi. Menjawab lantang dengan percaya dirinya. Dan jawabannya memang tak pernah melenceng.

Namun ketika hari itu, Gibran memang menganggap Sadam Zibran sebagai teman. Satu tahun periode bersama di Klub Fotografi, tak menutup kemungkinan bahwa mereka sudah tak canggung lagi.

Nyatanya ketika di tahun kedua menjabat, di tahun kedua pula Sadam Zibran menjadi Ketua Fotografi. Pemuda itu bertanya satu hal, yang menimbulkan tanda tanya besar.

"Ban, kamu... deket sama Winnie?"

Kala itu jelas Gibran terpaku sejenak. Keningnya terlipat tak menyangka mendapat lontaran pertanyaan gamblang seperti ini dari mulut seorang Sadam Zibran. Bahkan beberapa detik sempat hening menguasai.

"Tiba-tiba?"

Sadam mengedikkan bahu, wajahnya tampak tenang kembali mengetik pada komputer. "Nanya aja, bukannya kamu deket juga sama Miya dari lama? Cuma aneh, sekarang kayaknya sering liat sama Winnie."

Gibran terdiam. Dalam benaknya bertanya-tanya, memangnya sedekat apa ia dengan Miya sampai mereka suka sekali menyimpulkan sesuatu yang belum tentu jelasnya. Gibran tak melakukan apapun, Gibran memberi feedback yang sama halnya Miya beri. Tidak ada maksud apa-apa.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang