32. Kebetulan-kebetulan Tak Terduga

354 66 24
                                    













Menjelang Ujian Nasional, Gibran jadi jarang main. Ikut kegiatan Pramuka juga tak sesering dulu. Belakangan, nama Winnie seringkali terlintas, naasnya Gibran tak ingin mengingat. Merasa waktu kelulusan di depan mata, Gibran jadi tak ingin berharap lebih.

Meskipun Harsa seringkali menyeletuk ringan di sela belajar bersama di les sore itu. "Padahal ajakin potbar atuh terakhiran."

Gibran bertanya, "Buat apa?"

"Ya buat kenangan lah, tolil." mendelik, Harsa sepertinya kesal juga. "Aneh ih urang ka si Iban. Lamun urang jadi maneh da udah jadi pacar meren. Apa susahnya kitu tah?"

(Aneh ih aku sama si Iban. Kalau aku jadi kamu udah jadi pacar kali. Apa sudah gitu?)

Gibran mendecak, "Sia mah nggak akan paham."

(Kamu nggak akan paham.)

"Yeu, tanya ka Idan. Bener teu ceuk urang? (Bener nggak kata aku?)" Keduanya sudah memusatkan atensi pada Jaidan yang sibuk pada buku. Kemudian dongakan kepalanya terlihat, terdiam sesaat. Membiarkan hening melanda di antara ketiganya.

"Nggak semua bisa segampang itu, Sa. Kalo maneh mah iya urang juga percaya. Kalo si Iban mah, asa moal. (Kayaknya nggak.)"

Gibran memasang wajah kemenangan, "Mamam, aing di dukung Idan." balasnya mengejek. Sampai Harsa hanya mendelik, merasa sudah kalah debat.

"Udahlah, Sa. Sekarang mah gimana anaknya we. Dia ini yang rasain."

Benar, hanya Gibran yang merasakannya. Ketika hari itu tiba, kelulusan kelas sembilan yang dirayakan di gedung sekolah. Winnie terlihat tampil disana, berdandan cantik menyanyi bersama teman-teman kesenian.

Alunan merdu itu seakan menghipnotis Gibran untuk menonton sampai habis. Bidikan kameranya fokus pada wajah cantik dan menggemaskan Winnie. Memotret dengan tenang, ditemani hati yang sumringah.

Bahkan, Winnie tak pernah tahu kalau selama ini ia sudah menjadi objek favorit Gibran jauh sebelum gadis itu menaruh hati.

Winnie tak pernah tahu bahwa selama ini Gibran lah awalnya. Si pengagum dalam diam yang memuja gadis itu.

Jauh, jauh sebelum Winnie mendeklarasikan bahwa ia menyukai sosok si ramah tamah ini. Gibran bahkan lebih dulu menyukainya. Membungkus harapan yang tak pernah sampai.

Namun ketika Gibran merasa tak mempunyai waktu yang pas, atau mungkin ia yang terlalu pengecut hanya untuk menjalin interaksi lebih dalam lagi. Gibran harus menerima keadaan bahwa ia tak lagi bisa melihat tanda-tanda kedatangan Winnie di sekitarnya.

Gibran tak akan lagi merasakan debaran hatinya hanya karena melihat senyum manis gadis mungil itu. Tak akan ada lagi modus lewat ke toilet dekat kelas tujuh, atau nongkrong di depan kelas hanya untuk menunggu Winnie lewat.

Nyatanya, memang benar.

Hari-hari setelah itu Gibran sibuk mempersiapkan PPDB masuk SMK. Bersama Harsa dalam jurusan yang sama. Berbeda dengan Jaidan yang lebih memilih masuk SMA. Dia mencoba melupakan jejak-jejak Winnie dalam ingatan. Meskipun kadangkala Gibran rindu, dia lebih suka melihat lihat kembali hasil bidikannya sendiri.

Kemudian bersama waktu yang seakan berjalan dengan cepat, Gibran bertemu dengan Argi di meja pendaftaran. Teman SMK pertama selain Harsa yang kebetulan satu kelas. Dan sampai kini jalinan pertemanan itu seolah sudah akrab lama. Argi sudah dianggap anggota baru dengan Jaidan yang kadang tak ikut kumpul bersama.

SMK Bina Pratiwi, disana lah Gibran mulai mendalami hobi dan minatnya terhadap Fotografi. Ketika Harsa dan Argi lebih memilih vokal sebagai ekskul sekolah, Gibran memisahkan diri mengikuti Klub Fotografi.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang