11. Tidak Apa-apa Yang Menyakitkan

487 98 16
                                    






Malam ini Winnie tidak bisa tidur. Pikirannya melanglang buana kemana-mana. Pejaman matanya tak bisa bertahan lama. Dua detik lima detik, ia membuka mata kembali. Bersama perasaan gundah mulai menyerang hati.

Winnie harusnya tahu bahwa Gibran adalah sosok yang tak mungkin tidak dekat dengan perempuan manapun. Apalagi sikapnya yang sehangat itu, kecil kemungkinannya bahwa mereka, para perempuan di sekitarnya tak bisa menolak pesona luar biasa Gibran.

Dibutakan oleh beberapa hari ini yang membuat Winnie terlalu percaya diri bahwa dia mulai dekat dengan Gibran, dia tak menyadari bahwa bukan Winnie saja yang diperlakukan seperti itu.

Masih banyak teman perempuan Gibran yang diperlakukan sama. Dan ia hanya termasuk salah satunya.

Lalu bagaimana nasib hati Winnie yang sudah terlanjur terbawa perasaan? Sampai-sampai ia dengan percaya dirinya berpikir bahwa Gibran diam-diam juga menyukainya?

Helaan nafas berat Winnie terdengar, bersama pejaman mata mencoba menenangkan diri dalam kekecewaan harapannya sendiri. Gadis belia itu mulai bangkit, melangkah membuka pintu balkon duduk di sana. Menghirup udara malam yang dinginnya menusuk kulit.

"Apa aku berhenti aja?"

Tapi bukankah Winnie sudah sejauh ini? Berada di titik, dimana hari-hari ia lalui hanya memandanginya dalam diam sampai saat ini Winnie yang sudah berani bermain ke rumahnya dan mengobrol banyak di sana.

Itu membutuhkan sebuah usaha keras. Winnie harus melawan kegugupan yang selalu menderanya jika berada di sekitar pemuda itu. Winnie juga harus memutar otak agar perbincangannya tak terkesan kaku. Winnie harus membangun image gadis idaman di hadapan Gibran Athala, si pujaan hatinya.

Dan haruskah ia berhenti disini? Merelakan semuanya?

"Nggak."

Winnie kontan menyeru, menggeleng kuat-kuat, mengusir pikiran yang terlintas. Itu bukan solusi yang baik, Winnie tidak ingin menjauhi Gibran. Dia sudah susah-susah agar Gibran melihat keberadaannya, melihat ia yang sudah lama hanya berani bersembunyi.

Winnie harus berusaha kembali. Meskipun ia gagal berkali-kali.

Bukankah bisa saja mereka hanya berteman? Mengingat ramahnya sosok Gibran Athala, temannya pasti dimana-mana. Mau itu laki-laki, ataupun perempuan semata. Dan tugas Winnie hanya perlu berusaha, agar hasilnya terlihat nyata.

Winnie tidak salah kan? Bukannya ini yang dilakukan jika menyukai seseorang?

Tarikan di kedua sudut bibir Winnie kian terbit, menciptakan senyuman manis di gelapnya langit malam ini. Kemudian netranya menatapi bayangan hitam di antara kaca yang ia yakini itu adalah Gibran Athala.

Duduk di meja belajarnya, menyangga dagu dengan jari-jarinya yang bergerak. Setidaknya, itu yang Winnie lihat. Kebiasaannya setiap malam, jika ia duduk diam di sini. Melihat jendela kamar pemuda itu.

"Kayaknya aku harus gerak duluan. Biar Kak Gibran nyadar, kalau selama ini aku suka dia."

Gumaman pelan itu disertai tiupan angin malam, senyuman Winnie tak hilang. Dia sudah meyakini sesuatu, dan Gibran perlu tahu. Bahwa Winnie sudah berusaha mendekatinya sesulit itu. Selama ini.

Lalu biarkan kali ini Winnie berani bergerak. Setelah sekian lama menjadi sosok tanpa indentitas, yang hanya bisa mengagumi tanpa menyapa, yang hanya bisa menikmati senyumnya dalam sunyi.

Winnie ingin mencoba, menjadi pendatang baru yang menciptakan kenyamanan. Untuk Gibran, pujaan hatinya. Pemuda pemilik senyuman memabukkan yang ia idam-idamkan. Winnie ingin eksistensinya di mata Gibran terlihat spesial. Bukan sekedar tetangga depan rumah yang jarang keluar.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang