33. Romansa Anak Muda

335 74 18
                                    











Menginjak ujian kenaikan kelas sebelas Gibran resmi pindah rumah. Kepindahannya itu membuat Harsa terheran-heran. Pasalnya, Gibran pernah bilang bahwa dulu ia tak akan pernah mau meninggalkan perumahan yang ia tinggali. Dia malas berinteraksi lagi, dan katanya Gibran tak mau jauh-jauh dengan Harsa dan Jaidan juga.

Begitu terharunya Harsa kala itu, namun ketika waktunya tiba, saat Gibran memberitahu bahwa rumahnya pindah dengan tiba-tiba. Justru pemuda itu terlihat baik-baik saja. Bahkan sepertinya senang bukan main.

"Sia bulshit, si Iban mah nipu." (Kamu bulshit, si Iban mah nipu.)

"Naon anjir? Urang diem loh?" (Apa anjir? Aku diem loh?)

Harsa mendelik sempurna, wajahnya kentara kesal. "Halah, saha (Siapa) tuh yang dulu bilangnya nggak mau pindah rumah? Nying aing jadi nggak ada temen buat ngopi di warung si abah lagi kalau gini."

Gibran tertawa, "Kan ada si Idan."

"Mana mau tuh anak. Maneh tau kan dia katanya loncat kelas, edan jadi langsung kelas 12. Lama-lama aing jadi insecure punya temen kayak dia."

"Itu namanya pinter lah, tolil. Harusnya maneh teh bangga, siapa tau kecipratan pinternya. Kan untung."

Harsa memilih mendecak keras, tak menjawab lagi. Kini melangkah ke balkon kamar Gibran di lantai dua. Sesaat kepalanya melirik kanan kiri, memandangi suasana baru di rumah baru temannya ini. Walau kerjapan matanya mulai melebar tanpa sadar. Ketika Harsa menangkap siluet seseorang yang cukup membuat ia terkejut bukan main.

"Anjing, Ban!"

"Apa sih?"

Harsa dengan heboh menyeret Gibran dengan cepat, menunjuk seseorang di bawah sana. "Sia jangan bilang udah tau, Ban?"

Melihat Harsa yang sepertinya tampak tak percaya, Gibran menyengir lebar. "Gimana, Sa? Kayaknya kita ini emang jodoh deh. Maneh liat we, ada aja jalan Tuhan yang bikin aing nggak nyangka."

Dan selanjutnya Gibran mengaduh keras ketika Harsa menepuk-nepuk punggung pemuda itu melampiaskan kekesalannya. Memaki Gibran dengan wajah mengeruhnya.

"Bangsat, gampang banget sia bilang gitu, Agung. Kalau gini ya iyalah sia mah nggak akan nolak!"

"Anjing, Bapak aing!"

Hari itu Gibran selalu berpikir kalau ini tak nyata. Tapi realitanya dia sering melihat Winnie makan bubur di depan rumah. Yang membuat ia yakin bahwa ini adalah salah satu jalan Tuhan untuk ia berkesempatan mendekati gadis mungil itu.

Tapi sialnya Gibran selalu tak berani. Gibran kepalang sudah salah tingkah sendiri. Ketika kamu melihat yang disukai, sulit sekali rasanya untuk mengendalikan diri.

Gibran termasuk orang-orang yang ketika melihat sosoknya saja, debaran jantungnya selalu menggila tanpa jeda. Ketika menangkap senyumannya saja menimbulkan getaran menggelikan yang tak terhingga.

Dan tahukah kalian bahwa laki-laki juga bisa malu juga? Laki-laki juga merasakan hal yang sama ketika bertemu orang yang disukai. Dia bisa salah tingkah, dia bisa grogi juga. Ketika seorang laki-laki menyukai perempuan tidak semudah itu menunjukkan perasaannya.

Tapi kenapa banyak orang yang menyamaratakan bahwa semua laki-laki itu selalu percaya diri. Selalu bisa mendekati tanpa malu.

Mungkin mereka hanya mau menunjukkannya secara samar, sebagai kode dan diam-diam. Golongan laki-laki seperti itu terbiasa untuk mengumpulkan keberanian dan maju selangkah dengan pasti, tanpa umbar-umbar pada banyak orang.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang