44. Halau Rinjau yang Sempat Terlupakan

314 59 22
                                    















Day 1 Semarak Fotografi hari itu lancar. Winnie memberikan hasil yang memuaskan. Gadis itu benar-benar mengerahkan semua tenaganya dengan sukarela, memberikan yang terbaik di projects pertamanya kali ini.

Dan di akhir acara, anak Fotografi berkumpul. Hela nafas mereka saling berseteru, beradu tanpa jeda. Lelah hari ini terbayar oleh lancarnya acara sesuai harapan yang sudah lama mereka rancang.

Meskipun ada campur tangan pihak sekolah dan OSIS, selebihnya Sadam Zibran memberi banyak peran agar program kerjanya lancar tanpa hambatan. Dan kali ini Winnie memang benar-benar mengakui bahwa pemuda tinggi itu sangatlah cerdas.

"Makasih temen-temen untuk hari ini, makasih banyak atas usaha dan tanggung jawab kalian buat acara ini. Aku harap kalian bisa mengambil baiknya dan buang buruknya ya, jadikan kekurangan kita hari ini motivasi untuk besok lebih baik lagi. Selamat malam semuanya, selamat istirahat."

Evaluasi hari itu ditutup dengan tepukan tangan yang mengudara. Kerumunan itu perlahan melebur tak tentu arah. Dan Winnie yang masih perlu mengembalikan energinya yang seperti terkuras habis siang tadi hingga malam menyapa, memilih menyandarkan punggung pada tembok aula dengan pejaman mata lelah.

"Capek ya?"

Mendengar suara yang belakangan ini menjadi favoritnya, Winnie membuka mata. Senyum kecilnya tertarik, kemudian anggukannya terlihat. "Tapi seneng karena ini projects pertama aku ikut Fotografi."

Gibran Athala meletakkan nasi kotak yang tadi ia ambil dari Seksi Konsumsi lalu mendudukkan diri di samping Winnie. "Makan dulu yuk?"

Winnie merenggut kecil, tampak tak berselera. "Udah kelewat laper, Kak. Jadi males."

Gibran menipiskan bibir, perlahan mendekat membawa kepala Winnie untuk bersandar pada bahunya. "Tau kok, karena tadi sibuk banget kan. Tapi masa iya mau dibiarin kosong perutnya? Kalo nanti sakit gimana?"

Dengan pejaman mata, Winnie menikmati usapan halus jari-jari Gibran pada rambutnya. Gadis itu beringsut pelan, menyamankan posisi yang mengundang senyuman Gibran yang merasakannya.

"Mau bobo aja?"

Winnie mengangguk kecil, "Bentar ya, Kak. Kalo ada orang bangunin."

"Udahnya makan ya? Seenggaknya biar perutnya nggak kosong."

"Iya."

Gibran memilih tak menjawab, pemuda itu tanpa kata hanya setia mengusapi rambut Winnie yang benar-benar tidur di pundaknya. Rambut terikat gadis itu sudah tak beraturan, wajah lelahnya kentara terlihat.

Pandangan mata Gibran teralih pada tangan Winnie yang terkulai di atas pahanya. Diraihnya dengan lembut, Gibran membelai lembut jari-jari mungil itu dengan kasih sayang. Kemudian telapak tangan Winnie tenggelam pada genggaman Gibran saat itu
juga.

Dan senyum kecilnya tertarik. Gibran merenungi setiap detik yang baru-baru ini ia alami dengan Winnie. Mengenang setiap waktu dimana hari-hari penuh ketakutan dan sikap pengecutnya yang kini tertelan hilang entah kemana.

Kali ini Winnie sudah menjadi kekasihnya. Gibran pikir tak seharusnya ia mempertahankan kepengecutan dirinya hanya untuk menjaga imej agar dipandang keren di mata Winnie.

Entahlah, semenjak jadian Gibran ingin ia apa adanya. Winnie sudah ia pilih untuk memperlihatkan bagaimana sebenarnya Gibran Athala itu. Jati diri yang selama ini ia usahakan dengan hebat.

Winnie sudah menjadi bagian dari kehidupan remajanya. Dari ia yang masih di usia lima belas tahun hingga sekarang yang nyaris delapan belas tahun, Gibran banyak berharap ini dapat bertahan hingga ke tahun-tahun berikutnya.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang