18. Untaian Harap Dalam Dada

393 96 21
                                    














Bodoh, bodoh, bodoh.

Bisa-bisanya Winnie dengan polosnya mengatakan bahwa Gibran ingin berkencan dengan Miya Ameida si perempuan balet itu. Ini efek omongan Sadam Zibran yang akhirnya ia juga ikut terprovokasi hingga emosinya naik ke ubun-ubun.

Winnie memang tidak menyukai Miya. Tapi sepertinya ini adalah bentuk keirian hatinya yang tidak terima bahwa Gibran yang sepertinya lebih menyukai gadis anggun itu daripada dia.

Semacam insecure. Kurang percaya diri. Sampai akhirnya iri yang mendominasi. Mengikis habis keberanian ia yang awalnya dengan semangat membara ingin membuktikan bukti perjuangan untuk mendapatkan hati Gibran suatu saat nanti. Tapi akhirnya tak berani.

Winnie menahan malu sepanjang hari. Dimana masa-masa presentasi keduanya yang gugupnya bertambahnya dua kali lipat, dia mencoba terlihat tak peduli setelah Gibran menyahut seperti ini.

"Kenapa kamu mikirnya aku kencan, Win? Emang keliatannya begitu?"

Ya mana aku tahu. Orang aku juga nebak aja. Ingin sekali Winnie membalas dengan teriakan di depan wajahnya begitu, namun mana berani. Yang dia lakukan hanya pura-pura melengos, menjawab cuek, "Ya kenapa? Nggak boleh?"

Sialan. Untung setelah itu sudah ada orang yang datang. Sehingga perdebatan memalukan itu akhirnya terlupa begitu saja.

Tapi untuk Winnie, rasanya ia tidak bisa lupa-lupa. Malu yang masih ada juga rasanya tidak hilang-hilang. Tapi Winnie juga memasang wajah sok tak peduli. Padahal hati tak tentu hari.

Miya sempat datang, dan Winnie lihat Gibran merasa sebersalah itu. Mungkin takut melukai hati pujaan hatinya? Berbeda dengan Winnie yang bahkan diberi harapan palsu saat dia sudah siap dalam segala hal.

Mengingatnya lagi membuat Winnie sudah ingin melahap manusia. Kemudian membanting apa saja. Karena sejatinya memang selalu emosi jika ingatannya terlempar pada hari itu.

"Win, dijemput?"

Winnie melirik sekilas, anggukan kepalanya terlihat. "Iya kayaknya. Tapi nggak tau juga, Papa belum ada kabar."

Sadam Zibran hanya ber-oh pelan, namun tak urung dia hanya diam ikut berdiri di samping Winnie yang sibuk mengetik balasan pada ponsel. Kerumunan anak-anak fotografi menyeruak diantara parkiran, namun pemuda tinggi itu hanya diam malah menyelipkan tangan pada saku celana.

Mendongak, wajah bingung Winnie terlihat setelah menemukan sosok Sadam masih di sampingnya. "Kak Sadam nggak pulang?"

"Hn?" pemuda itu sebenarnya bingung membalas, dan bingung sendiri. Namun bersama wajah tenangnya yang tertutupi, ia menyahut. "Mau, tadi nunggu temen katanya ada barang yang harus di kembaliin."

"Oh, janjian disini gitu?"

"Iya, sekalian nemenin kamu tungguin jemputan."

Winnie agak melebarkan mata mendengarnya. Namun ia tak ambil pusing dan tak terlalu memikirkan. Karena fokusnya saat ini adalah bagaimana caranya agar ia bisa pulang sekarang?

Setelah menunggu lama disana, dengan Sadam Zibran yang seolah tak ada kerjaan berdiri menjulang di sampingnya, Winnie akhirnya membuang nafas kecewa. Mendecak kesal. Sampai Sadam ikut melirik, bertanya kenapa dengan refleks.

"Kak Sadam kayaknya aku duluan ya."

"Eh? Udah ada jemputannya?"

Wajah Winnie mengeruh, tampak tak bersemangat. "Nggak jadi dijemput, Papa aku belum pulang. Aku mau naik bus aja, di depan sana."

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang