25. Ketika Jarak Berbicara

366 81 50
                                    









Petuah Nania masih belum ia lakukan. Hari-hari berjalan tanpa kepastian tak membuat ia menjauhi Gibran Athala yang gencar memberi perhatian. Winnie sudah membulatkan tekad bahwa selepas kembalinya Gibran dari PKL, ia harus bisa menaklukkan bahasa Inggris dan membuktikan bahwa ia mampu tanpa campur tangan Gibran.

Winnie dapat berdiri di kaki sendiri tanpa bantuan Gibran yang menemani.

Meskipun ada kalanya disaat masa-masa ulangan harian sampai ujian kenaikan, Winnie memberikan informasi nilai pada pemuda itu, setidaknya Gibran sendiri hanya berperan sebagai pendukung hasil usahanya.

Awal masuk di semester akhir, di bulan pertama, jujur nilai yang ia dapatkan kurang dari ekspektasinya. Dibanding Nania yang berada diatasnya sedikit, agak malu juga. Namun hal itu bisa menjadi motivasi tersendiri supaya Winnie lebih baik lagi.

 Namun hal itu bisa menjadi motivasi tersendiri supaya Winnie lebih baik lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari itu Senin sore, Gibran benar-benar pulang cepat. Ketika jam pulang, pemuda dengan jaket denim itu duduk dengan gagah diatas motor merah kebanggaannya.

"Haiii!!!"

Sapaan ceria Winnie dibalas senyum lebar pemuda itu. Winnie melambai riang menerima helm hitam berstiker itu pada genggaman, "Kenapa di jemput segala sih Kak? Kalo pulang cepet tuh dipake buat istirahat."

Tanggapan Gibran berupa kekeh lembut sambil berkata, "Nunggu kamu pulang juga nggak akan sampe berjam-jam juga, Win. Nggak papa, orang rumah kita deketan."

"Iya sih, tapi tetep aja. Tempat PKL Kak Iban tuh jauh, kalo ke sekolah dulu harus muter. Kasian."

"Astaga, si bocil ini udah bisa ngomelin aku." Gibran tertawa, menghidupkan mesin motor, "Tapi makasih loh atas perhatiannya."

"Idih bocil cenah."

"Hahaha."

Nilai tujuh puluh kala itu dihadiahi topi abu-abu yang menggemaskan. Winnie tak bisa menebak sikap pemuda itu, karena tiba-tiba saja Gibran sudah mendekat, tanpa kata menaruh topi pada kepala. Di depan rumah, ketika pemuda itu menentang helm dan duduk di jok motornya.

"Eh? Punya siapa?"

"Kamu," Melihat senyum lebar Gibran serta jawaban, tentu wajahnya mengerjap bingung. Kemudian tawa khas pemuda itu terdengar kemudian, "Buat kamu ih, hadiah."

"Serius?"

"Iyaa, Winnie."

Refleks Winnie menutup mulut, "Kak Iban ih, ngerepotin. Bentar bentar, ini serius buat aku? Gratis kan?"

Kali ini tawa Gibran mengudara, sampai matanya menyipit mendengar celetukan tak percaya gadis itu. Padahal hanya hadiah kecil, tapi senangnya bukan main.

"Gratis kok, aman-aman." Masih dengan kekehan kecil, kemudian teriakan exited Winnie kemudian terdengar. Bersama gumaman samar pemuda itu yang Winnie dengar, "Bener Sa, anaknya emang lucu."

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang