16. Bukan Aku Prioritasnya

400 98 8
                                    










Pergi bersama Gibran itu membutuhkan penampilan yang luar biasa. Winnie harus mempersiapkannya dengan baik. Meskipun waktu Mama tersita karena ukiran alis yang dibuat secara elegan, kemudian rambut sebahunya yang ia rapikan. Winnie ingin terlihat berbeda, agar tampilannya menarik.

Saat pulang kemarin, Mama yang pertama menyinggung soal Gibran. Bertanya-tanya mengenai hari yang penuh bersama pemuda itu. Meskipun hanya mengerjakan tugas ekskul semata.

Bukankah kalian tahu bahwa Mama adalah tempat cutahan hatinya yang paling nyaman? Walau hanya seputar Gibran dan kebahagiaan, tanpa campur tangan cerita Miya dan kepatahan hatinya.

Jadi Winnie pikir, Mama sudah tahu perasaan apa yang putrinya tuju untuk anak tetangga depan yang selalu diceritakan oleh mulut ibu-ibu komplek. Gibran yang sudah mencuri hati semua wanita, terhipnotis pesona anaknya Tante Yuni yang diingini semua orang.

"Iban bilang mau jam berapa?"

Lirikan mata Winnie tertuju, "Siang nanti. Sekitar jam sebelas."

"Pas kalau begitu. Kamu nanti tinggal pake jepit aja ya, Win. Cantik deh."

Senyum merona Winnie kemudian terlihat. Gadis belia itu tampak cantik dengan poles make up yang tipis. Terlibat segar dan menyejukkan.

"Nggak kemenoran kan, Ma?"

"No, Winnie udah cantik."

Sekali lagi, senyuman salah tingkah Winnie terbit. Bibir kecil itu mengukir senyum indah. Tatap matanya memandangi diri dalam refleksi cermin dalam kamar, merasakan sensasi mendebarkan saat membayangkan bagaimana raut wajah Gibran saat melihat penampilannya.

Akan terpesona kah? Atau biasa saja? Apa Gibran akan menyadari perubahan kecil ini? Atau hanya diam seperti biasa memamerkan senyuman lembutnya.

Sampai jarum jam menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit, Winnie sudah duduk menunggu di depan rumah. Sebenarnya ditemani Mama, namun ia usir sejenak untuk menghilangkan gundah yang tiba-tiba menyerang.

Winnie sudah dibuat gugup duluan sebelum kedatangan Gibran. Gadis itu beberapa kali melongok, mengintip kehadiran motor merah bersama pemiliknya berhenti di depan rumahnya. Namun sampai pukul sebelas juga, hadirnya belum juga terlihat.

Gadis dengan blouse putihnya itu memperbaiki jepit rambut, lagi-lagi lirik matanya menunggu kehadiran Gibran. Lengannya merogoh ponsel dalam tas, bertanya-tanya dalam diam.

Kemudian bersama hela nafas putus asa, suara motor Gibran terdengar samar ditelinga. Winnie sudah ingin bangkit saat dering ponsel juga bergetar dalam genggaman.

Kak Gibran incoming call...

"Halo, Kak? Jadi?"

Suara Winnie mengawali sambungan telepon siang itu, disertai tatap mata yang memusat pada pergerakan Gibran yang kembali masuk ke dalam rumah, kemudian terburu-buru duduk di jok motornya lagi, Winnie menahan nafas saat suara Gibran terdengar di seberang sana.

"Win, maaf ya. Maaf banget. Aku ada janji lain, tiba-tiba. Tapi ini lebih penting, aku harap kamu ngerti ya."

"Ah, gitu? Kenapa nggak daritadi aja ngabarinnya? Padahal aku udah nungguin Kak Gibran disini daritadi."

Pandangan mereka bertemu. Gibran terdiam sejenak. Tolehan kepala pemuda itu tak lepas dari Winnie yang hanya tergugu, berdiri kaku di depan rumah. Menciptakan sorot mata yang terlihat kecewa.

"Win... aku nggak kepikiran. Tiba-tiba juga. Maaf ya?"

Dan pada akhirnya, dengusan sarkas Winnie berikan. Kelopak matanya sudah mengembun, menghalau pandang yang menyesakkan dada. Gibran juga tidak ada usaha untuk mendekat, sekedar memberikan penjelasan singkat telah membuang waktu menunggu yang sia-sia.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang