30. Harusnya Lebih Didengar

395 83 32
                                    













Dalam langkahnya, Winnie bagai berjalan dalam air mengalir. Lambat dan laun. Di antara ramainya murid-murid yang berlalu lalang, netra hitam gadis itu mencari sosok Gibran. Melirik kanan kiri, berlarian ke gedung ini ke gedung itu. Tak menyerah.

Ketika senyumnya yang terus mengembang, Winnie menyiapkan kata-kata dalam hati, yang kali ini tengah berdebar-debar menegangkan. Lapangan riuh oleh sorak siswi perempuan, berteriak histeris kala perebutan bola berakhir pada gawang yang gagal ditangkap.

Kemudian Winnie mendekat pada pembatas gedung, besi hitam yang langsung mengarah pada hamparan lapangan yang dipenuhi lautan manusia dibawah sana. Sambil terengah, pandangannya menelusuri setiap yang terlihat. Memastikan keberadaan sosok yang ia cari-cari.

Lukisan senyum manis pada bibirnya terlihat, sesaat debaran jantungnya kian menggila. Winnie menangkap sosok Gibran dalam pandangan. Memotret dengan keren di dalam lapangan.

Satu detik setelah itu, Winnie memutar tubuh melenggang pergi darisana. Berlari-lari di lorong, menuruni satu per satu tangga. Gadis itu menerjang setiap gerakan murid lain yang terlihat.

Namun ketika sampainya ia disana, di lapangan yang kini dipenuhi murid-murid. Gibran tak terlihat, dan Winnie sepertinya telat. Niatnya ingin memutar langkah kembali, namun pandangannya menangkap Harsa yang tak jauh disana. Tengah berebut antrean di stand OSIS bersama Argi yang kepanasan.

"Kak Harsa!"

Silau yang menyorot, hingga Winnie kelopak matanya yang terlihat menyipit, juga nafasnya yang terengah-engah. Gadis itu perlahan menghampiri.

"Eh, si bocilnya Iban?"

Winnie menyengir, "Hehe, mau nanya dong Kak."

Argi dengan wajah kepanasannya itu menatap Winnie yang agaknya masih malu mengingat tempo hari. "Nyari Iban, Win?"

Winnie agak melebarkan mata mendengarnya, "E-eh, iya sih. Kak Argi ada liat nggak?"

Argi malah menyikut Harsa yang menenteng es teh kemasan, menyodorkan pada Argi yang diterima dengan cepat. "Si Iban tadi teh mau kemana cenah?"

Harsa menjawab, "Teuing, (Nggak tau) dia ngomongnya mau nyari kamu, Win."

"Aku?"

Mengangguk, "Heeh, tadi pagi abis ngomong sama si Miya langsung niatnya mau nyari kamu. Tapi keburu disuruh jadi dokumentasi sama OSIS ya, Gi?"

Argi ikut mengangguk, "Iya, baru sempet tadi. Aneh banget nyuruh anak MM jadi dokum, emang dari OSIS nya teh nggak ada ya?"

"Yeu, sia. (Kamu) Saling tolong menolong atuh. Untung anak OSIS nggak minta tolongnya ke kamu, Gi."

Argi mendelik malas, "Kumaha urang we. (Terserah aku dong) Bersyukur banget aing mah nggak dimintain tolong, males panas kieu."

Melihatnya, Winnie jadi canggung sendiri. Gadis itu akhirnya berdehem pelan menyadarkan kedua pemuda itu. "Eh yaudah atuh, Kak, makasih banyak ya. Aku cari sendiri aja."

"Coba ke lab aja Win, bisi lagi ngadem dulu sebelum ketemu kamu."

Argi melirik tak paham, "Naon hubunganna?" (Apa hubungannya?)

Harsa menoleh, menyengir lebar. "Henteu sih, nebak aja we, hehe."

"Yeu, boloho."

Winnie agak tertawa kecil mendengarnya. Melihat interaksi mereka berdua, mengingatkan kembali Winnie pada hari ia menunggu Mama dan Papa pulang di hari liburan.

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang