48. Inikah Yang Disebut Sinyal Baik?

261 46 6
                                    









Meskipun berminggu-minggu sudah terlewati, restu Papa Winnie masih juga tak ia dapatkan. Gibran sudah melakukan cara sedikitnya untuk meluluhkan pria dewasa itu. Tapi sepertinya sulit sekali.

Belakangan ini, tak jarang Gibran sengaja menunggu di depan rumah Winnie untuk ia ajak berangkat bersama ke sekolah meskipun berakhir dengan tolakan. Tak sampai itu juga, Gibran jadi sering ikut kumpul di pos kamling komplek ketika Papa Winnie sudah saatnya berjaga.

Waktu demi waktu pemuda itu habiskan untuk sekedar mengobrol ringan mengenai hubungannya dengan Winnie pada beliau. Yang pada akhirnya hanya lontaran singkat yang sialnya membuat Gibran tertohok saat itu juga.

"Bisa bertahan sampai kapan? Lagian kamu belum cukup dewasa untuk mengerti mencintai anak saya."

Ada kekeh ragu yang kentara ketika Gibran bilang bahwa pemuda itu mengaku begitu menyayangi sang putri. "Nggak ada jaminan yang pasti bahwa kamu nggak akan nyakitin anak saya meskipun kamu bersumpah sekalipun."

"Karena jatuh cinta itu bukan sesuatu yang mudah, nak Gibran. Saya harap kamu mengerti."

Itu tak salah. Gibran mengakuinya.

Namun perasaan seseorang tak bisa dikendalikan oleh siapapun. Perasaan mencintai tak bisa dianggap sumber masalah. Gibran ingin Papa Winnie juga mengerti bahwa ia juga tau sebab akibat untuk menjalin asmara bagaimana.

Menuju dewasa memang tak mudah. Ada lika-liku yang harus dilalui dengan sabar. Gibran dengan langkahnya mencoba menapaki proses itu dengan baik. Belajar mencintai, belajar menghargai, bersama-sama untuk mencapai asa yang didamba.

Bicara mengenai takdir memang terlalu dini bagi mereka yang bahkan baru saja resmi menjadi remaja puber. Tapi pemikiran orang itu berbeda-beda. Ketika Gibran sudah tertarik pada seorang perempuan, dia perlu waktu lama untuk meyakinkan diri bahwa dia benar-benar menyayangi dengan sungguh-sungguh.

Alih-alih gonta-ganti mencari tipe idaman yang pas, Gibran malah sibuk pada satu perempuan yang harus ia gali seluk beluknya. Dan begitu ia yakin, barulah Gibran berani bergerak. Barulah ia menebar perhatian, sehingga benih-benih kasih sayang itu perlahan melingkupi hubungan mereka.

Sekiranya, itulah yang selalu Gibran pikirkan. Itu yang selalu Gibran wanti-wanti sedari dulu. Sehingga kini nama Winnie sudah tercatat rapi dan menjadi pilihan hatinya. Setelah sekian lama.

"Aing udah kehabisan ide."

"Kenapa?"

Gibran membuang nafas berat, dengan asap nikotin membersamai. "Papanya Winnie. Gimana lagi biar dibolehin pacaran."

Malam itu Gibran memilih berkumpul bersama teman-temannya di tempat Harsa. Kebetulan Jaidan juga sempat meluangkan waktu, lengkap sudah.

"Bukannya awal-awal mah nggak ada masalah apa-apa ya?"  Argi bersuara, "Bahela gening (Dulu) pas PDKT, perasaan aman-aman wae."

"Heeh tah (Nah iya)," Harsa menimpali, "Masih antar jemput, nepiken ka (Sampe) belajar bareng cenah."

Merenung sejenak, Gibran mendecak halus. Menghisap sejenak rokok dalam apitan jari, "Emang. Pas nggak setuju mah soalnya urang nyaris nyium Winnie, mana di depan rumah."

"Anying?—" Harsa sudah menoleh sepenuhnya dari layar hanya untuk menatapi raut wajah bloon Gibran yang sama sekali santai berkata seperti itu. "Tolol."

Argi juga ternganga kemudian bahakan keras memenuhi suasana ketika umpatan Jaidan terdengar menyusul. "Dicirian (Ditandain) lah anying pasti."

Jaidan tertawa keras, melempar pulpen yang menganggur disana. "Ban... Ban... sekalinya punya pacar siamah langsung di sosor anjir. Nggak tau tempat lagi."

Feeling In Silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang