-
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
-Chairil Anwar
-"Aduh, bisa ga jalan pake mata?" Mereka berdua segera bangkit, dan membersihkan seragam baru mereka dari debu. Di persimpangan lorong, mereka langsung menjadi pusat atensi kakak kelas dan para guru.
"Galak banget atu nengnya." Remaja laki -laki itu memonyongkan bibirnya. Ia menabrak gadis itu tepat di perempatan lorong, sehingga ia berlari tanpa melihat siapa di depannya kala ia berbelok.
Gadis itu menggeram kesal, padahal baru hari pertama sekolah. Ia tadi tenang - tenang saja mendengar lagu dari earphonenya, tiba - tiba orang aneh ini berlari dan menabraknya. Gadis itu melirik sesaat ke salah satu kakinya, ah, tidak, tidak mungkin remaja tadi berhasil melihat alat yang melekat pada kakinya.
Baru saja merasakan dunia luar, sudah ada saja musibah.
"Lagipula ngapain masih disini padahal bell udah bunyi?"
Gadis itu langsung mengecek jam yang melingkar di tangannya. Mereka berdua langsung berlari tanpa arah.
"Kita mau lari kemana?" Tanya remaja laki-laki itu.
"Ke kelas!"
"Iya tapi kelasnya dimana?" Mereka berlari sembari berbicara.
"Lah, aku ngikutin kamu daritadi."
Mereka berdua langsung berhenti. Dan saling bertatapan untuk waktu singkat. "Kelasnya yang dipakai untuk MOS kemarin kan?"
Remaja laki-laki itu menggeleng kuat, "itu cuma ruang ekstrakurikuler."
"Lagipula saat MOS, semua murid diacak, pembagian kelas hari ini." Remaja laki-laki menghembuskan nafas kasar, ia padahal baru saja kesempatan bersekolah disini lewat beasiswa, bisa-bisanya di hari pertama ia telat karena terlambat bangun.
Gadis itu menepok jidatnya, ah gara-gara supirnya ia jadi terlambat dan jadi orang bodoh saat ini. Gadis itu memimpin jalan mereka, Satu-satunya cara untuk menemukan kelas mereka adalah papan pengumuman.
Ia ingat, di SD nya dulu, jika ada pembagian kelas, pasti selalu diumumkan di papan pengumuman. Tibalah mereka di depan papan pengumuman, ternyata bukan hanya mereka yang terlambat masuk. Ada banyak siswa disana yang mencari nama mereka di kumpulan kertas di papan tersebut.
Syukurlah, jika pun ada hukuman di hari pertama, mereka tidak akan sendirian. Tapi yang namanya hukuman, itu adalah mimpi buruk bagi remaja laki-laki itu.
"Siapa namanya?" Tanya remaja laki-laki.
"Eliza, Eliza Nadien."
"Cari di kertas sana coba, mana tau ada namaku." Pinta remaja laki laki itu.
"Nama?"
"Chandra Raihan."
Gadis itu mengangguk dan mencari celah untuk mengecek nama mereka berdua. Perkenalan mereka bahkan sama sekali tak berkesan. Gadis itu mulai dari kelas terbawah, di sekolah ini semua murid di urutkan dari skor masuk mereka. Yang tertinggi akan masuk ke kelas unggulan, dan yang terendah akan masuk ke kelas paling bawah.
Sadar diri saja, ia bodoh soal pelajaran.
Namanya juga sekolah swasta unggulan dan terbesar di provinsi ini, sekolah ini memiliki visi dan misi untuk menciptakan lulusan terbaik di bidang akademik dan non akademik. Karena itu untuk masuk ke sekolah ini, ada tes untuk mengurutkan anak sesuai kepintaran mereka.
Eliza, baginya berhasil melewati tes masuk sekolah ini saja merupakan sebuah keajaiban untuknya.
"Eliza Nadien, MIPA-1!" Seru remaja itu.
Semua siswa yang ada disana langsung menembakkan tatapan mereka kepada Eliza. Hah? MIPA-1?
"Terus kamu?" Eliza segera keluar dari kerumunan itu.
"MIPA-3."
Eliza tertegun, Hah? Ternyata ia lebih pintar dari remaja laki-laki itu. Tapi sungguh, untuk ukuran otaknya yang tak seberapa bagaimana bisa ia masuk ke kelas unggulan tersebut? Apa jangan-jangan ada campur tangan ayahnya?
Mereka berdua mengecek denah sekolah ini untuk mengetahui lokasi kelas mereka, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun Eliza langsung pergi ke kelasnya.
Chandra yang tetap tinggal disana, tersenyum miris. Gadis itu mirip sekali dengan seseorang, sayang sekali hidupnya telah berakhir. Tuhan lebih sayang dengannya.
Sekelebat kenangan saat mereka bersama terputar dalam benaknya. Masa kecil yang sangat indah, basecamp yang luar biasa, Pesta yang buruk, hingga perpisahan yang menyakitkan. Ah sudahlah, sekarang seharusnya ia lebih sedih lagi.
Ia tidak masuk di kelas unggulan.
Padahal jelas-jelas ia siswa beasiswa, dan skornya sudah dipastikan hampir menyentuh hasil yang sempurna. Atau mungkin tidak? Ia mungkin memang tidak sepintar itu?
Chandra melanggeng menuju kelas, hari pertama yang buruk.
Dan soal gadis itu, ia ingin mengenalnya lebih.
-
"Chandra Raihan?"
Semua orang saling bertatapan, siapa yang namanya Chandra Raihan? Sedari tadi dipanggil kenapa tak kunjung menyahut?
"Chandra Raihan!"
"Pe-permisi." Eliza mengetuk pintu kelasnya dengan nafas yang tersenggal-senggal. "Ma-maaf saya terlambat."
Semua tatapan tajam terarahkan padanya. Ah, sangat mengerikan.
"Kamu mau saya usulkan untuk pindah ke kelas bawah? Hari pertama sudah terlambat, sikap kamu tidak mencerminkan tingkat kelas kamu!" Omel guru tadi.
Eliza meneguk salivanya, ah, benar, lain kali dia akan ganti supir. "Maaf Bu, sekali lagi saya minta maaf."
"Ibu gamau kasih hukuman, kamu cukup duduk di pojokan kelas sampai semester satu berakhir."
Eliza justru senang diberi hukuman seperti itu, meja di posisi itu adalah tempat yang diidamkannya. Ah dasar ibu tua, tahu saja yang di inginkan nya.
"Siapa nama kamu?"
"Eliza Nadien."
Guru itu langsung tersenyum misterius, Jangan-jangan benar dugaannya? Ia masuk ke kelas ini karena ada campur tangan ayahnya? Ah padahal ini kan tidak masuk kesepakatan.
"Silahkan duduk." Eliza mengangguk, baru saja ia melangkah beberapa langkah, nama yang tak asing terdengar kembali.
"Chandra Raihan!"
Loh? "Bu-
"Saya Chandra Raihan bu!" Chandra tiba di depan pintu kelas dengan nafas tersenggal-senggal. Eliza langsung melihat ke arah pintu, bukannya tadi dia di MIPA -3?
"Maaf Bu, saya baru dari kantor tata usaha. Ada kesalahan data di pembagian kelas. Tadinya nama saya ada di kelas MIPA -3." Jelas Chandra.
Guru tersebut mengangguk dan tersenyum, "baik, silahkan duduk."
Apa- apaan? Tadi dia terlambat diomelin dan dihukum kenapa saat Chandra guru itu justru tidak melakukan hal yang sama? Chandra memilih bangku terdepan, karena ternyata hanya itu kursi yang tersisa, baguslah.
Chandra langsung menopang dagunya, sepertinya ia tak perlu berekspektasi lebih soal sekolah ini.
Karena ternyata yang yang ber-usaha akan kalah dengan yang ber-uang.
Jelas -jelas ia tadi mendengar guru yang komplain karena namanya tercampak ke kelas lain karena ada orang tua yang berusaha memasukkan anaknya ke kelas unggulan dengan uang.
Dan anak tersebut, adalah Eliza. Jangan -jangan bukan hanya satu anak?
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAST AND YOU (End)
Ficção AdolescenteTak ada hal yang sempurna di dunia ini, termaksud dia dan rahasia besarnya. "Cintai dirimu apa adanya." Begitulah kata mereka yang nyaris sempurna dan tak pernah merasakan perihnya hidup dihantui oleh kehancuran. Gadis tersebut memeluk tubuhnya ya...