"Mungkin bagi sebagian orang kerikil kecil tak berarti apapun dibanding batu yang besar. Namun, tak jarang dari kerikil kecil itulah batu yang besar tercipta."
🌱
"Anggika."
"An."
"Kamu lagi apa?"
"Dari tadi enggak keluar-keluar."
"Ada yang sakit, ya? Coba buka dulu."
Sudah hampir satu jam Anggika tak keluar kamar mandi membuat Kavian cemas. Pria itu terus berusaha membujuk istrinya untuk keluar kamar mandi. Namun, hasilnya tetap sama, Anggika enggan keluar kamar mandi.
"Aku punya salah? Kamu marah sama aku? Maafin aku. Ayo kita omongin baik-baik."
Mungkin Kavian merasa tak punya salah apapun namun Kavian selalu berusaha mengalah agar semuanya baik-baik saja. Selagi dirinya bisa untuk mengalah mengapa harus sama-sama keras kepala? Baginya kunci kelanggengan hubungan adalah tidak sama-sama keras kepala.
"Jangan bikin aku khawatir gini. Anggika Sayang, ayo dong buka pintunya."
Selesai kalimat itu terucap, Anggika membuka pintunya. Kavian tersenyum saat pintu kamar mandi itu perlahan terbuka. Namun, senyuman itu perlahan luntur saat menyadari wajah sembab istrinya. Anggika menangis, Kavian yakin itu.
"Kamu kenapa? Kenapa nangis? Pusing lagi?" tanya Kavian cemas.
Alih-alih menjawab, Anggika justru memeluk Kavian kemudian menangis sejadi-jadinya di pelukan lelaki itu. Kavian semakin bingung juga cemas.
"Kamu kenapa? Masih pusing? Mau ke dokter lagi? Jangan nangis."
"A-aku haid."
Pada akhirnya, Anggika menjawab. Ada kesedihan yang teramat besar saat Anggika mengatakan itu. Kavian yang paham pun hanya bisa memeluk istrinya. Dia tahu ini pasti sulit untuk Anggika namun dirinya tak bisa melakukan apapun karena ini sudah menjadi jalan untuk keduanya.
"Aku enggak pernah nuntut kamu soal anak. Aku tahu ini pasti nyakitin kamu, tapi aku harap kamu ikhlas. Lagipula perjalanan kita masih panjang. Kita baru menikah. Yang ikhlas, ya."
"Ta-tapi saudara aku semuanya suka langsung hamil. Aku enggak mau kamu diledek sama orang lain karena istrinya belum hamil."
"Hey, aku enggak peduli apa kata orang. Lagipula aku bahagia sama kamu. Udah, ya."
Anggika merasa gagal menjadi seorang istri. Mungkin bagi sebagian orang ini hal biasa, tapi tidak dengan dirinya. Anggika ingin segera punya momongan namun mengapa dirinya harus menstruasi di waktu yang kurang tepat menurut dirinya. Kenapa?
"Maafin aku, Kavi. Maaf."
***
Baru kali ini, Anggika merasakan yang namanya mogok makan. Semua makanan kesukaannya sudah tersedia di depan mata namun nafsu makannya hilang entah kemana. Anggika masih terpukul karena kejadian pagi tadi padahal Kavian saja tak begitu menuntut dirinya untuk segera hamil. Namun, meski begitu Anggika merasa sedih.
Kavian sebagai suami hanya bisa berusaha menenangkan Anggika. Kavian terus mengatakan jika dirinya tidak apa-apa. Kavian juga mengatakan jika Anggika harus ikhlas.
"Kalau kamu terus-terusan kayak gini, aku bingung harus apalagi. Kamu belum makan dari pagi. Mau aku bilang ayah?"
Anggika menoleh ke arah suaminya. "Jangan ngadu sama ayah. Aku enggak mau ayah khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berjodoh Dengan Mantan? [ Completed ]
General FictionSemua berawal dari pesan yang dikirim oleh nomor tak dikenal di hari ulang tahunnya, dan di hari yang sama orangtuanya mengatakan bahwa ada seseorang yang melamarnya. Hal itu tentu membuat Anggika harus pulang ke kota asalnya karena dia sudah berjan...