"Jika bersama kamu, aku rela beberapa kali kecewa karena tanpa kamu tahu kekecewaan terbesar adalah tidak bisa bersamamu."
🌱
"Mbak, apa Mbak enggak sadar, ya?"
"Sadar apa, Va?"
"Ponsel Mbak ketinggalan."
"Ya ampun, Va. Iya ih. Dari tadi aku enggak pegang ponsel, tapi enggak papalah aku bisa naik angkutan umum aja."
"Enggak bisa, Mbak. Lihat deh itu ada bang Kavi."
Spontan langkah Anggika terhenti. Tatapannya fokus ke arah depannya. Di sana ada Kavian, suaminya. Pria itu menatapnya seakan siap untuk menerkam mangsa. Pasti Kavi khawatir, pikir Anggika.
"Aku duluan ya, Mbak," ujar Ziva. Bukannya tidak sopan, tapi ini perintah dari Kavian. Tadi, Kavian menghubungi.
"Yaudah, hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa hubungi kak Adnan. Dia pasti senang kalau kamu membutuhkan dia," balas Anggika.
"Siap, Mbak. Duluan, ya. Dah."
"Daah."
Anggika menghela napasnya saat Ziva perlahan menjauh. Dia harus siap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya antara dirinya dan Kavian.
"Sejak kapan kamu jadi pelupa? Sedari dulu aku tahu kamu orang yang paling teliti. Kalau kamu lupa itu tandanya kamu enggak baik-baik aja. Aku mana bisa ngebiarin istri aku sendirian dengan kondisi itu. Aku mana bisa ngebiarin kamu pulang sendiri terus kejebak macet sedangkan aku enggak bisa nanya kabar kamu. Itu alasan aku kenapa aku di sini," ujar Kavian.
Anggika menghela napasnya. "Aku minta maaf. Aku benar-benar lupa. Aku juga baik-baik aja kok."
"Kamu yakin?"
Anggika mengangguk. "Iya."
"Yaudah kita pulang," ujar Kavian sebelum akhirnya melangkah lebih dulu. Anggika yang melihat itu pun terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menyusul langkah suaminya yang cukup cepat.
"Kavi, jangan cepet-cepet. Kaki aku sakit. Kavi," keluh Anggika yang merasa sudah tak mampu lagi. Kakinya sakit.
Kavian yang awalnya cuek pun akhirnya dengan sigap menghampiri Anggika. Pria itu bahkan berjongkok di depan Anggika, berusaha memeriksa apa yang terjadi pada kaki istrinya itu.
"Udah aku bilang kan. Makanya nurut sama suami," omel Kavian sembari melihat kaki Anggika yang membengkak.
"Iya aku salah. Maafin," jawab Anggika. "Tapi bisa kan jangan marah dulu. Jangan jalan cepet. Aku enggak bisa susul kamu. Harusnya istri tuh digandeng kek. Nanti diambil orang lagi."
Kavian berdiri sebelum akhirnya menggandeng tangan Anggika membuat senyuman di wajah Anggika tercipta. "Kita beli sendal yang lebih empuk dulu baru kita pulang," ucap Kavian.
Rasa bahagia Anggika semakin berlipat ganda. Kavian dengan segala perhatiannya. Kavian tak akan pernah berubah.
"Makasih, Suamiku," jawab Anggika sembari tersenyum dan memeluk lengan Kavian.
Kavian ikut tersenyum meski tipis. Dia tak marah, dia hanya takut Anggika kenapa-kenapa.
***
Anggika merebahkan dirinya di samping Kavian. Rasanya hari ini cukup melelahkan bahkan matanya sudah tak sanggup untuk terbuka sempurna lagi. Sepertinya tidur adalah jalan terbaik untuk sekarang.
"Ke rumah papanya besok pagi aja. Malam ini aku capek. Mau tidur."
"Dari kemarin udah aku bilang kan mending pagi. Kamunya aja yang ngeyel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berjodoh Dengan Mantan? [ Completed ]
Художественная прозаSemua berawal dari pesan yang dikirim oleh nomor tak dikenal di hari ulang tahunnya, dan di hari yang sama orangtuanya mengatakan bahwa ada seseorang yang melamarnya. Hal itu tentu membuat Anggika harus pulang ke kota asalnya karena dia sudah berjan...