"Di saat semua orang tidak akan siap kehilangan, saat itu juga kehilangan selamanya pasti akan datang."
🌱
Pulang kerja, Nadif memutuskan untuk menemui kakaknya. Keberangkatannya tinggal tiga hari lagi, dia tak mungkin terus-terusan menutupinya dari Anggika. Meskipun pasti berat untuk Anggika, tapi Nadif yakin kakaknya akan mengerti keputusannya.
"Tumben main ke sini," ujar Anggika sembari menyuguhkan dua gelas jus jeruk.
"Iya, Teh."
"Aku sama Kavian udah baikan kok. Kamu enggak usah khawatir. Jangan ngadu juga ke ayah," ucap Anggika.
Nadif mengangguk. "Syukur kalau memang gitu. Maaf kemarin aku ikutan emosi."
"Aku paham, Dif. Udah lupain aja. Semuanya udah beres kok," balas Anggika.
Lagi, Nadif mengangguk. "Teh," panggilnya agak ragu.
Anggika menatap adiknya heran. "Kenapa? Mau ada yang kamu omongin?"
"Iya, Teh," jawab Nadif.
"Omongin aja," kata Anggika.
"Aku mau ke Jepang, Teh."
Deg.
"Jepang? Mau apa? Kamu mau liburan?" tanya Anggika spontan.
Nadif menggeleng. "Aku mau kerja, Teh."
Anggika tersenyum sembari geleng-geleng kepala. "Bohong, kan? Kamu mana bisa ninggalin Bandung? Kalau mau ngeprank aku jangan gini deh."
"Ini beneran, Teh. Beneran."
Senyum Anggika seketika luntur. "Maksud kamu pergi ke Jepang mau apa? Kamu mau balas dendam sama aku? Dulu aku kuliah sampai kerja di Jakarta, gitu?"
Nadif menggeleng. "Enggak, Teh. Aku cuman mau banggain ayah aja. Dulu, aku nakal banget. Aku tahu dulu Teteh sering nangis karena kelakuan aku, kan? Maaf ya, Teh. Maaf banget."
Anggika akui, Nadif memang nakal semasa sekolahnya. Saat dirinya pergi ke Jakarta untuk kuliah, Anggika sempat ragu. Takut jika ayah dan ibunya tidak bisa menghadapi Nadif. Namun, Anggika juga tahu jika Nadif sudah berubah sejak SMA, tepat satu tahun dirinya kuliah di Jakarta. Keluarganya memang tak sesempurna yang terlihat karena keluarganya pun pernah merasakan masa-masa terpuruk kala itu.
"Kenapa harus Jepang sih? Kenapa enggak Indonesia aja?" tanya Anggika.
"Dulu, ayah mau banget Teteh ke Jepang, tapi belum rezekinya. Sekarang lagi ada kesempatan. Aku ke sana enggak sendiri, Teh. Teteh tenang aja. Izinkan aku banggain ayah sama ibu, Teh. Cukup aku buat mereka menderita karena kenakalan aku waktu itu," jawab Nadif.
"Dif, enggak ada yang ngerasa menderita," bantah Anggika.
Nadif tersenyum tipis. "Aku tahu hati kalian terluka, Teh."
"Tapi enggak dengan pergi juga, Dif. Enggak gini caranya."
"Ini demi karir aku juga, Teh. Nanti aku harus punya gaji yang lebih besar biar bisa punya keluarga kecil. Aku juga mau dibanggain sama ponakan aku, Teh. Apa aku salah?"
"Ya udahlah, terserah kamu aja." Anggika pasrah. Dia tak tahu lagi bagaimana cara membujuk Nadif.
"Makasih, Teh. Aku berangkat tiga hari lagi. Aku pamit, ya."
***
Kavian terpaksa lembur sampai jam delapan malam. Pekerjaan hari ini cukup banyak. Terlebih kemarin dia memutuskan untuk pulang lebih cepat. Jadi, semuanya berimbas pada hari ini. Kavian tak masalah jika dia harus lembur namun sekarang ada Anggika yang Kavian khawatirkan. Balasan pesan dari Anggika membuat Kavian cemas. Anggika seperti tak bergairah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berjodoh Dengan Mantan? [ Completed ]
General FictionSemua berawal dari pesan yang dikirim oleh nomor tak dikenal di hari ulang tahunnya, dan di hari yang sama orangtuanya mengatakan bahwa ada seseorang yang melamarnya. Hal itu tentu membuat Anggika harus pulang ke kota asalnya karena dia sudah berjan...