41. Kiss?

4.3K 226 0
                                    

"Terkadang ungkapan tak perlu sepatah kata pun untuk diungkapkan karena masih banyak cara lain untuk mengungkapkannya."

🌱

Anggika bisa bernapas lega saat Nadif pergi meninggalkannya sendiri. Anggika juga tahu bahwa sedari tadi ada sosok Kavian yang bersembunyi di belakang pintu klinik. Anggika yakin Kavian mendengar semuanya.

"Nadifnya udah enggak ada. Kamu masuk aja. Aku tahu kamu ada di balik pintu," ujar Anggika dengan suara yang cukup dinaikkan.

Kavian langsung muncul dari balik pintu membuat Anggika tersenyum. Kavian bahkan membawa kotak makan yang ia siapkan.

"Aku tahu kamu dengar semuanya. Jangan dimasukin ke hati. Nadif kalau marah pasti ngomongnya suka ngasal," ucap Anggika saat Kavian berdiri tepat di sampingnya.

Kavian masih tak bergeming. Pria itu nampak enggan mengucapkan sepatah kata pun. "Kalau memang kamu mau pergi, ya terserah, tapi itu yang justru bakalan bikin aku semakin terpuruk. Aku bahagia sama kamu, Kavi. Mungkin emang kelihatannya aja aku cuek, enggak peduli, tapi aslinya aku sayang banget sama kamu," tambah Anggika namun lagi-lagi Kavian masih diam.

Anggika menghela napasnya. "Boleh minta tolong enggak? Pindahin aku ke bed sana. Di brankar nanti enggak bakalan bisa makan. Kalau orang sakit posisi tidurnya harus semi fowler kalau mau makan. Eh, aku kan lupa aku belum bawa mak—"

Ucapan Anggika terhenti tatkala Kavian memangkunya. Lagi, Anggika dibuat tersenyum karena suaminya itu. "Aku sayang kamu," ujar Anggika dengan begitu tulus. Namun, lagi-lagi Kavian masih diam meskipun jantungnya sudah berdetak tak karuan.

"Kavi, kamu mau ninggalin aku? Kamu marah ya boleh, tapi jangan gini. Jangan diemin aku," rengek Anggika pada akhirnya. Anggika tidak nyaman dengan sikap Kavian.

"Makan," ujar Kavian. Hanya satu kata.

Anggika menggeleng. "Enggak mau. Buat apa aku makan, suami aku aja marah."

"Enggak usah keras kepala, Anggika. Makan sekarang," ucap Kavian.

"Ya udah terserah," balas Anggika berusaha menutupi kekecewaannya. "Sana balik aja ke ruangan kamu. Aku bisa makan sendiri. Aku juga bisa pulang sendiri. Buat apa aku tetap di sini kalau kamunya aja gini. Aku emang salah, tapi enggak gini juga, Kavian."

Kavian menghela napasnya. Sabar, Kavi, sabar. "Jangan bawel, ayo makan."

Anggika kembali tersenyum saat Kavian mulai membuka kotak makan yang ia bawa. Apa Kavian akan menyuapinya? Manis sekali jika iya.

"Aaa." Kavian menyodorkan sesendok nasi beserta lauknya ke arah Anggika. Anggika dengan senang hati melahapnya.

"Kamu juga makan. Kamu udah rapat dua jam. Pasti capek, kan? Ayo makan juga," ujar Anggika.

"Kamu dulu aja."

Anggika menggeleng. "Berdua, Kavi. Berdua."

Kavian nampak pasrah, pria itu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya sendiri. Anggika tersenyum lebar, puas sekali rasanya. Kemudian, Anggika mengulurkan tangannya ke atas kepala Kavian lalu mengusap-usapnya. "Jangan marah lagi. Maafin aku, ya? Aku salah, aku sadar itu. Omongan Nadif jangan kamu masukin ke hati juga. Dia mana paham soal kita. Yang tahu kita, ya kita sendiri. Kalau memang kamu mau melepas aku, kamu harus siap juga enggak bakalan ketemu anak kita. Aku bakalan bilang ke anak kita kalau yayahnya pergi jauh dan enggak mungkin balik lagi."

Anggika tak tahu ini salah atau benar namun Anggika berharap Kavian paham maksud di balik ucapannya. Anggika tidak ingin Kavian pergi. Ya, itu maksudnya.

Berjodoh Dengan Mantan? [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang