Aku akan bahagia jika kamu bahagia, tapi jika kamu tidak bahagia maka biarkan aku yang menjadi sumber kebahagiaan kamu.
Aleta.
●●●●●
Azka menepati perkataannya pada Ayana, dia tidak lagi mendiamkan gadis itu. Azka juga sudah kembali menjadi laki-laki seperti pertama kali Ayana kenal.
"Jangan dibiasain kayak gini, Ka." Ana menatap kesal pada anak semata wayangnya yang duduk berhadapan dengannya. "Suruh Ayana yang masak, tugas seorang istri itu melayani suaminya bukan malah sebaliknya seperti ini."
Ayana yang mendengar itu semua hanya bisa memanyunkan bibirnya, perkataan Mamanya sama sekali tidak salah tapi tetap saja Ayana merasa malu meskipun apa yang dikatakan adalah sebuah kebenaran.
Azka, laki-laki yang baru selesai menyajikan makanan di atas meja makan hanya bisa mengulas senyum tipis. Dia duduk di samping Ayana, megelus lembut kepala istrinya.
"Saya sendiri yang ingin memasak ini semua, Ma. Ayana sama sekali tidak ada menyuruh saya untuk melakukannya," ujar Azka memberitahu.
"Mama paham, Ka. Mama tau. Tapi tetap aja ini itu bukan tugas kamu," balas Ana, masih menatap mata Ayana dengan sorot tajam.
"Kalau sekali dua kali kamu yang masak gak pa-pa, mungkin kamu seneng ngelakuinnya tapi kalau udah setiap hari itu bukan hal yang wajar," sambung Ana.
Azka hanya mampu tersenyum tipis mendengar ucapan yang dilontarkan Mama mertuanya. Dia sama sekali tidak berani untuk melawan perkataan tersebut. Karena Azka tahu bahwa apa yang dikatakan Ana sebuah bentuk perhatian sekaligus kebenaran.
"Mama benar, Ka." Bram ikut membuka suara. Sebagai orang yang paling tua di sana, Bram merasa bahwa dia harus turut adil dalam masalah ini. "Kamu ini seorang suami dan bukan tugas kamu untuk memasak semua makanan ini. Biarkan Ayana yang melakukannya."
Ayana merasa semakin kesal, dia tahu tindakannya yang membiarkan Azka masak sendiri itu salah. Tapi bisa tidak mengatakan itu semua tidak di depan Azka?
"Kalau Ayana gak bisa masak kamu bisa ajarin dia. Lagian masak sekarang kan gampang, tinggal lihat dari internet," ujar Bram lagi.
Azka mengangguk singkat, dia sama sekali tidak keberatan dengan keluhan kedua mertuanya. Azka tahu bahwa tugas memasak bukan menjadi tugas suami, melainkan tanggung jawab seorang istri.
"Ayana sudah membeli buku masak kok, Pa. Ayana juga sudah beberapa kali masak bareng saya. Hanya saja akhir-akhir ini saya terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk mengajari Ayana masak," ujar Azka.
Azka tersenyum tulus pada Ayana, senyuman yang begitu Ayana rindukan. Senyum tulus yang membuat kedua mata Azka ikut tersenyum.
Tangan Azka terulur, dia menggenggam tangan Ayana di atas meja. "Ayana sudah berusaha menjadi istri yang baik buat saya. Dan saya tidak mau merepotkannya, apalagi Ayana masih kuliah."
"Selagi saya bisa mengerjakannya pasti akan saya kerjakan, Pa. Lagian saya senang melakukannya," sambung Azka.
Ayana tahu, dia sangat tahu bahwa Azka berusaha melindungi dirinya. Suaminya itu begitu baik, Azka tidak mau melihat Ayana disudutkan seperti ini dan Ayana sangat berterima kasih untuk kemurahan hati Azka.
●●●●●
Jasmine menatap tidak percaya pada apa yang ada di depan matanya saat ini.
Aleta, teman Azka itu berada di rumahnya.
"Ada keperluan apa ya?" tanya Jasmine, pasalnya Dokter muda itu datang ke rumahnya jam setengah 7 dan pukul segitu masih terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah orang.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRICKLY FLOWER (END)
Teen FictionAzka Watson, seorang Dokter berusia 28 tahun yang dijodohkan dengan Ayana Azusenna, seorang mahasiswi berusia 20 tahun. "Boleh saya minta hak saya sebagai seorang suami? Tolong cium saya, peluk saya dan katakan kalau kamu tidak menyesal menikah deng...