BAB 2

82 10 3
                                    

Banyak hal yang bisa Citra sebut sebagai kebetulan jika menyangkut tentang Candra. Saking banyaknya ia tak lagi menganggap semua itu hanyalah kebetulan belaka, malainkan takdir.

Citra dan Candra tinggal di satu perumahan yang sama. Bahkan rumah mereka pun bersebelahan. Sejak kecil mereka adalah teman main bareng. Kadang Citra main ke rumah Candra dan begitu pula sebaliknya. Orang tua mereka berdua sangat dekat, bahkan saat Ayah Citra meninggal dunia dua tahun yang lalu, keluarga Candralah yang selalu ada untuk Citra dan mamanya. Mereka sangat baik sampai-sampai Citra merasa memiliki dua keluarga.

Citra hidup sebagai anak tunggal dari kalangan kelas menengah. Ia tidak terlalu kaya tapi juga tidak kekurangan. Sejak Ayahnya meninggal, Ibunyalah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pekerjaannya seringkali membuat Ibunya jadi jarang untuk pulang ke rumah.

Selama ia ditinggal Ibunya, sedikitpun Citra tidak pernah merasa kesepian. Semua itu karena Candra dan keluarganya. Mereka tidak pernah membiarkan Citra berteman dengan rasa sepi.

Candra selalu ada untuk Citra. Ia selalu tahu apa yang saat ini sedang Citra butuhkan. Dan satu kalipun Candra tidak pernah bersikap kasar kepada Citra. Hal itu semakin membuat Citra jatuh cinta kepada Candra dan perasaan itu tidak pernah berkurang sedikitpun. Inilah dasar yang membuat Citra memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya kepada Candra hari ini.

Biasanya saat pulang sekolah, mereka akan pulang bersama menggunakan sepeda, sebab sekolah mereka tak jauh dari tempat tinggal mereka. Kadang naik sepeda berdua, kadang pula naik sepeda sendiri-sendiri.

Hari ini mereka memutuskan untuk naik sepeda bersama dengan Candra yang membawa sepedanya dan Citra berdiri di belakang sambil memegangi pundak Candra. Sepanjang perjalanan, jantung Citra semakin berdetak tidak karuan. Berkali-kali Citra membuka dan menutup mulutnya, merasa ragu haruskah ia mengungkapkan perasaannya sekarang?

"Candra..."

"Hm?"

"Gak jadi,"

"Kebiasaan. Kalau mau ngomong, ngomong aja. Jangan dipendem gitu." Candra masih fokus mengayuh sepedanya sementara Citra semakin kuat menggigit bibirnya. Ia benar-benar gugup untuk berkata jujur sehingga membuat tangannya jadi gemetaran.

"Cit lo gapapa? Tangan lo gemetaran,"

"Gu-gue gapapa,"

"Gue kekencengan ya bawanya?"

"Gak kok," Citra menggeleng meskipun ia tahu Candra tidak akan bisa melihatnya.

"Lo ... lagi ada masalah?"

"Gak juga kok,"

Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara mereka. Candra masih saja fokus mengayuh sepedanya sementara Citra masih sibuk melawan rasa gugupnya. Citra tidak mau melewatkan kesempatan ini karena momennya yang sangat pas. Setidaknya kalau Citra mengungkapkan perasaannya sekarang, ia tidak akan melihat raut wajah Candra saat ia sudah mengungkapkan perasaannya.

"Candra,"

"Kenapa, Cit?"

"Gue mau lo denger ini. Tapi lo jangan pernah benci gue ya, Can. Gue gak bisa."

Candra terkekeh. "Kenapa gue harus benci sama lo?"

"Gue takut lo bakal benci sama gue saat lo tahu kalau gue punya perasaan ke lo. Gue sebenarnya suka sama lo, Can. Gue gak tahu lebih tepatnya sejak kapan. Tapi yang pasti perasaan itu tetap bertahan selama dua belas tahun ini. Gue ..."

Citra gugup, bahkan semakin gugup saat tak mendengar jawaban apapun dari Candra. Ia pun terdiam sembari menundukkan kepalanya, berusaha menahan tangis yang segera ingin ia tumpahkan. Keterdiaman Candra membuat perasaannya menjadi kacau. Mudah-mudahan Candra tidak akan membencinya, itulah harapannya.

Pick Your LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang