BAB 15

50 3 0
                                    

Ombak kembali datang mendekat, menyentuh kaki Citra yang masih berdiri di atas pasir. Kali ini ia sendirian, menatap langit tanpa bintang yang kehilangan cahayanya. Citra berpikir apakah suatu hari nanti ia akan menemukan cahayanya?

"Mau sampe jam berapa di sini?" kedatangan Gustiar membuyarkan lamunannya. Gustiar datang membawa minuman dan juga mie dalam cup, terlihat sangat enak di makan sambil menatap hamparan laut luas yang ada di hadapannya.

"Jam sembilan, aku udah izin sama Mama."

Menjauh sedikit dari wilayah datangnya ombak, mereka berdua sama-sama duduk di atas pasir, tidak peduli baju mereka yang nantinya akan menjadi kotor. Di kesempatan itu, Gustiar melepas jaketnya kemudian menutupi paha Citra, ia tidak ingin angin menerbangkan rok yang dipakai oleh Citra hingga ia menjadi pusat perhatian pengunjung yang lainnya. "Itu sebabnya gue benci wanita pakai rok," gumam Gustiar yang masih bisa didengar oleh Citra.

Gustiar memang sering berbicara lembut padanya, tapi di beberapa kesempatan tabiatnya yang suka berbicara pedas keluar juga. Lama-lama Citra jadi terbiasa dengan cara bicaranya yang seperti itu.

"Memang kenapa? Pakai rok itu menunjukkan sisi kelembutan dari seorang wanita tahu. Dari zaman ke zaman, rok telah menjadi pakaian dengan ciri khas seorang wanita dan tidak pernah berubah sampai sekarang. Kamu boleh berpendapat apapun, tapi aku lebih suka pakai rok daripada celana."

"Saya tidak melarang kamu, hanya saja kamu harus lebih berhati-hati kalau pakai rok agar rokmu itu tidak tersingkap," Citra tersenyum sambil menatap wajah samping Gustiar. Anak rambut yang tertiup angin itu mengusiknya hingga membuat Gustiar jadi sedikit menyipitkan mata.

"Kamu itu perhatian juga ya,"

"Memang sudah seharusnya bukan?"

"Oh iya, kalau aku boleh tahu kenapa kamu yakin aku punya bakat akting? Sejauh yang aku ingat kamu gak pernah hadir di acara pertunjukan drama di sekolah dan aku juga belum menunjukkan akting aku waktu latihan di ruang teater?"

Gustiar bergeming. Terdengar helaan napas kasar darinya. "Waktu kita bermain kartu, dari situ saya sadar kalau kamu punya sesuatu yang menipu."

"Ka-kamu berlebihan,"

"Kenapa? kamu gak sadar?"

"Maksud kamu wajah aku menipu gitu?" Gustiar mengangguk membenarkan. "Saya bahkan tertipu sama kamu, itu pujian loh." Tapi tidak dengan Citra. Ia jadi terganggu dengan kejujurannya Gustiar.

"Aku bukan penipu," gumam Citra.

Gustiar melirik. Citra sudah tidak lagi sedang memakan makanannya. "Itu tergantung pilihan kamu. Suatu hari nanti kalau kamu memilih untuk menjadi seorang penipu, saya yakin kamu akan menjadi penipu yang tidak terkalahkan. Sadar gak sadar kamu pandai memainkan ekspresi wajah. Sekarang coba bilang apa yang kamu pikirkan saat permainan kita sedang berlangsung waktu itu?"

"Aku hanya berpikir aku tidak bisa membaca pikiran kamu. Aku tidak punya data apapun tentang kamu sehingga untuk menganalisis pilihan kamu pun cukup sulit buat aku. Di tambah, pikiran aku sudah terdoktrin pada keyakinan kalau kamu orang yang manipulatif. Tidak mungkin aku mudah membohongi ataupun membodohi kamu. Yang aku tahu, tidak ada gunanya mengendalikan kamu. Yang harus dikendalikan itu aku. Aku berusaha untuk menjaga ekspresiku agar emosiku yang sebenarnya tidak ditampilkan di wajahku. Hanya itu."

"Menarik." Gustiar tersenyum miring, wajahnya terlihat bersemangat. "Saya gak nyangka kamu punya pemikiran seperti itu."

"Kamu suka sama aku?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Citra. Ia sendiri pun kaget mengapa ia bertanya demikian. Bukankah kalau ia ingin meninggalkan tidak seharusnya Citra tahu tentang perasaan Gustiar yang sesungguhnya?

Pick Your LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang