BAB 23

43 3 0
                                    

Ketika adiknya Selin memanggil namanya, Gustiar langsung bergegas menuju ruang makan. Di sana sudah disiapkan berbagai macam makanan di atas meja. Semua orang menunggunya untuk makan bersama. 

Gustiar tidak menyukai adanya keributan di meja makan, semua memahami itu. Sehingga suasana di meja makan ini pun hening, tak ada satupun yang berbicara. 

Seperti biasa, Gustiar pasti telah selesai lebih dulu dibandingkan yang lainnya. Gustiar bangkit menuju wastafel dan mencuci piringnya sendiri. Itulah yang selalu Gustiar ajarkan pada mereka yang ia sudah anggap sebagai adik-adiknya itu. Setelah selesai mencuci, barulah Gustiar pergi ke halaman belakang untuk melepas beban pikirannya di sana.

"Aku pengen denger suara kamu, Tiar. Gak tahu kenapa, aku cuma pengen denger suara kamu,"

"Hahaha ... konyol ya alasan aku nelpon kamu?"

Citra adalah beban pikirannya saat ini.

Citra yang saat ini berstatus sebagai pacarnya tapi tidak jelas perasaan mereka itu seperti apa. Gustiar sendiri lebih menganggap hubungan ini adalah kekalahannya. Ia menggenggam kekalahan itu hanya untuk dijadikan sebagai pengingat bahwa ia hanyalah manusia biasa. Kalah adalah suatu hal yang wajar untuk tahu apa kekurangannya sehingga ia bisa kalah.

Dari Citra, Gustiar belajar untuk tidak meremehkan orang lain sedikitpun dan bersikap sombong di hadapan mereka. Bahkan guru pun bisa kalah dengan muridnya.

Beruntung ia hanya kalah dari Citra yang taruhannya adalah status dirinya yang berganti, dan bukan uang. Gustiar sendiri paling anti untuk lari dari tanggung jawab, sebab ia bukan pengecut yang tidak bisa menerima kekalahan. Itulah dasar mengapa ia menurut saja untuk menjadi 'pacar yang baik' untuk Citra.

"Lagi mikirin Citra lo?" Seseorang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Mereka duduk di gazebo yang disediakan di samping kolam.

"Gak. Ngapain gue mikirin dia."

"Kali aja lo mikirin dia. Sekarang 'kan dia pacar lo, wajar kalau lo mikirin dia."

"Kita pacaran, tapi belum tentu kita punya rasa."

"Jadi lo berpikir Citra gak punya perasaan sama lo?"

Katakanlah bahwa Gustiar adalah orang yang paling peka terhadap sekitarnya. Apa yang ditunjukkan oleh Citra memang terlihat seperti cinta. Tapi entah kenapa setiap kebersamaan mereka, Gustiar merasa tak pernah ada cinta di sana. Apa karena ia tidak mengerti perasaan dicintai?

"I'm not .... sure." Gustiar mengangkat sebelah alisnya. Saat mengatakannya, ia sendiri pun tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan.

"Kalau gitu batalin aja taruhannya. Lo bayar Citra atau apa kek, gue khawatir lama-lama kalau Citra itu ada niatan buruk sama lo!"

Gustiar menoleh pada lawan bicaranya yang seumuran dengannya. "Nggak bisa. Gue anti narik kata-kata gue kembali. Biarin aja. Dia kok pemenangnya. Lagipula apapun yang mau dia lakuin, semuanya nggak bakal berhasil. Kalaupun dia punya niat buruk, malah bagus dong kalau gue selalu ada dideket dia. Jadi gue bisa pantau semua kegiatannya."

"Kita gak kenal Citra. Gak tahu dia cewek kayak apa. Tiba-tiba dia masuk ke dalam kehidupan lo gitu aja, apa lo gak curiga?"

"Jelas gue curiga," jawab Gustiar lalu menjeda ucapannya karena menyesap rokoknya terlebih dahulu. "Makanya gue berusaha cari tahu. Meskipun emang gak ada hal apapun yang mencurigakan dari dia soalnya dia benar-benar terlihat seperti gadis rumahan yang baik."

Pick Your LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang