Pagi menjelang, suasana yang lumayan sejuk akibat hujan yang mengalir tadi malam, bau tanah yang terguyur oleh air hujan begitu menyengat menambah suasana syahdu subuh ini.
Seperti biasa, keluarga Disti di setiap pagi setelah melaksanakan sholat shubuh, mereka bersama-sama berjalan mengelilingi komplek, saling menggerakkan sekujur badan untuk mendapatkan perenggangan.
"Mbak setelah ini mau sarapan apa? Tunggu ibu masak, atau mau beli bubur kesukaan kamu itu? Mumpung sekalian jalan." Ibu bertanya pada putrinya yang sedang duduk terkapar di pinggir jalan karena kelelahan itu, padahal menurut ibu mereka baru berlari 5 putaran.
Disti bukan seseorang yang tidak pernah olahraga, tapi dia juga bukan orang yang sangat gemar berolahraga seperti ibu. Dia tipe orang fleksibel yang jika ia mau baru ia kerjakan.
"Beli bubur saja ya bu? Disti lapar sekali. Nanti kalau ibu sudah masak ya Disti makan lagi." Dasar Disti, larinya belum seberapa. Rencana makannya sudah menggunung.
Bagi ibu Disti seperti inilah yang ia rindukan, putri kecilnya yang akan selalu makan dengan lahap pada makanan yang ia suka. "Yasudah ayo mbak Disti, kita makan bubur. Ibu masaknya agak siangan nanti biar kalo bapak pulang masih hangat."
Berjalan bersama beriringan bersama ibu, menikmati satu per satu momen kehidupan bersamanya, menghiasi masa-masa tua ibu dan bapak adalah alasan utama Disti kembali ke Indonesia.
Bubur mang oji adalah legendaris kesukaan Disti makanan yang kerap ia rindukan saat berada di daratan eropa, karena jujur makanan para bule tak begitu cocok untuk lidahnya.
"Mang bubur kaya biasa 2 porsi, yang satunya gak usah pakai kacang ya. Terimakasih." Pesan ibu kepada pedagang bubur yang bahkan sudah Disti kenal sejak taman kanak-kanak, ketika pagi ingin berangkat sekolah sembari dikepang dan disuapi.
"Waduh kedatangan tamu agung atuh mamang, apa kabar mbak Dis? YaAllah pangling mamang teh" Mang oji dan keluarga Disti lebih dari pedagang dan pembeli, mereka bahkan sudah seperti saudara, Berbincang ringan seperti ini sudah sangat sering bagi mereka.
Ramainya pembeli tidak memungkinkan mereka ngobrol dan berbincang lebih lama, selain itu pula Ibu dan Disti juga melanjutkan makan setelah buburnya terhidang.
Saking terkenalnya bubur mang oji tidak jarang yang membelinya adalah orang jauh, Teman-teman Disti yang sudah pernah ia kenalkan pada bubur disini pasti akan kembali lagi. Lihat saja sekarang Disti seperti melakukan acara reuni disini, ada beberapa teman yang memang satu komplek dengannya dan ada teman yang ia kenalkan bubur ini.
Rasanya bahagia bisa bercengkrama dengan teman-temannya, tidak dibatasi oleh jarak dan waktu dan bahkan kini mereka menghirup oksigen yang sama.
"Kabar gimana Dis? Kirain baliknya masih minggu depan. Besok gua kirim alamat fitting nya, kita ketemu teman-teman nanti." Mereka sudah dewasa ternyata, perbincangannya sudah membahas undangan.
"Gak nyangka deh gua, kita ternyata sampai tahap ini juga." Mereka berteman sejak zaman sekolah dulu, menganyam pendidikan yang sama di sebuah sekolah negri yang katanya favorit.
"Kemarin Zu sama Tari udah fitting baju, besok tinggal lu sama kakaknya alvin." Kalo kalian mencari keberadaan ibu dimana, beliau sudah pulang lebih dulu memberikan ruang dan waktu pada anaknya untuk bercengkrama lebih bebas, bahkan Disti dan Nina sudah melanjutkan obrolan di rumah Nina.
"Kakaknya Alvin?"
"Iya kakaknya, dia baru pulang dari jepang kemarin. Perempuan, kalo gak salah gua pernah cerita tentang dia ke lu deh waktu itu." Sejujurnya Disti lupa bahkan siapa kakaknya Alvin itu, Terlalu banyak pekerjaan sering membuatnya tidak fokus pada pembicaraan teman-temannya.
Duduk lesehan berdua di ruang tengah mengingatkan mereka pada masa zaman sekolah dulu, bersama dua teman mereka lainnya Zu dan Tari, mereka kerap berkumpul di rumah ini atau di rumah salah satu dari mereka.
"Zu lagi otw kesini, Tari kayaknya gak bisa karena dia lagi di rumah mertuanya."
"Mertuanya Tari itu bukannya tetangganya ya? Bener gak sih, kalo gak salah kan. Dulu pas kita kondangan terus nungguin calon pengantin nya dari rumah depan." Mereka pasti selalu akan ngakak ketika mengingat momen ini, dimana dulu mereka sering meledek Tari karena sudah mencari jodoh jauh-jauh ternyata orangnya ada di rumah depan.
Sembari tertawa Nina melahap satu kacang ke mulutnya "Gila dulu kita udah ngakak banget nunggu pengantinnya, apalagi pas mereka lagi di pingit itu Tari sampe nangis karena dia nutup pager aja keliatan kamar lakinya."
"Sumpah padahal dari kita semua hidupnya yang lempeng-lempeng aja tuh kayaknya si Tari, tapi ternyata ada aja momen epik buat dia." Tari adalah orang yang gak pernah muluk-muluk dia pasrah dan siap aja gitu menjalankan dunia ini.
"Bukannya momen epik Tari itu lebih banyak sama lu ya Dis? Ingat banget gua." Kenapa sih manusia diberikan ingatan setajam itu untuk sesuatu yang memalukan.
Mereka tertawa bersama, tak lama kemudian berbicara sedih, lalu mereka flashback masa-masa sekolah, kembali menertawakan takdir, hingga sekarang berbicara tentang masa depan.
"Udah mantep? Yakin 100% kalo dia orangnya." Disti selalu bertanya seperti ini kepada teman dekatnya yang akan menikah, bukan bermaksud untuk membuat ragu. Tapi menurut Disti berbicara seperti inilah yang akan menguatkan keyakinan calon pengantin.
"Gua nungguin lu nanya gini Dis dari tadi." Mereka memang terpisah jarak dan waktu sekian tahun sampai jarang berbicara seperti hari ini.
Nina melanjutkan bicara dengan mata yang menunjukkan kemantapan "kalo dibilang yakin gak yakin, dari 100% kadarnya ya mungkin keyakinan gua sampai di angka 90. Jumlah dan nominal presentase itu kan nanti bisa bertambah bahkan berkurang sejalannya waktu."
Disti mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh Nina "Kenapa lu yakin nikah sama dia? Selain alasan cinta, karir, kebaikan, dan hal-hal internal lainnya."
Nina menatap Disti sejenak lalu dengan mantap berucap "Karena dia menjadi dirinya, karena dia gak membuat gua menjadi orang lain, dan membuat gua sama dia hanya menjadi kita." Simple, tapi hal yang sangat sulit dilakukan.
"Kalo kalian berhasil mempertahankan itu semua di setiap langkah kehidupan yang kalian ambil, gua yakin kalo 90% kadar keyakinan lu ke dia akan selalu Naik, jadi jalankan baik-baik apa yang sudah kalian lakukan sedari awal."
Disti memang belum menikah diantara para teman dekatnya dia sendiri yang belum menetapkan hatinya pada bahtera pernikahan, namun hanya untuk memberikan sedikit rasa keyakinan pada temannya Disti merasa itu tidak masalah.
"Hal kaya gini yang selalu membuat kita berharap lu ada di Indonesia aja."
Nina tau dengan sangat bahwa Disti adalah seseorang yang akan mengejar apa yang ingin dia dapatkan, tapi terkadang Disti suka lupa bahwa ada segelintir orang yang mengejar untuk mendapatkannya. Dan bagaimana bisa didapatkan kalo yang dikejar sedang mengejar hal lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Usai
RomanceKisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia berlari hingga lelah, sampai akhirnya ia hanya bisa pasrah. Bahwa cinta itu memang selalu untuknya...