Disti, Pragia, dan Rasa

869 80 8
                                    

Indonesia.

Disti kira ia akan kembali menampakan kakinya setelah sekian tahun di Indonesia. Namun, ternyata hanya beberapa bulan Disti sudah kembali.

Banyak sekali hal yang belakangan ini ia ingat, bahwa menjalankan hidup tanpa ambisi yang begitu tinggi ternyata sangat menenangkan.

Saat kita mampu berdamai dengan diri, bahwa segala hal di dunia tidak bisa kita genggam adalah suatu hal yang luar biasa.

Disti baru tau, ternyata setenang ini menjalankan hidup tanpa ketakutan dan bayang-bayang kegagalan di esok hari.

Sebelumnya, ia selalu berpikir. Bagaimana semua harus berjalan dengan baik? Apakah esok sesuai maunya? Apakah hasilnya sebagus yang ia kira? Dan segala pikiran lainnya.

Ternyata. Berdamai dengan jiwa adalah kunci segalanya, bahwa tidak masalah apapun yang akan terjadi esok. Jika jiwa nya tenang, maka kegagalan pun tak akan menjadikannya pecundang.

Ambisinya menyurut, dan jiwanya bergerak seperti air mengalir. Tidak berlomba dengan waktu, diri sendiri, ataupun orang lain.

Disti bertemu satu fase, bahwa hidup adalah tentang pilihan.

Bahwa masa depan yang cerah tidak melulu berasal dari masa sekarang yang begitu keras, tidak. Selagi kita masih melakukan sesuatu sesuai porsinya. Maka, masa depan cerah pun masih sangat mungkin untuk kita miliki.

Bahwa, terlalu keras pada diri sendiri juga tidak menjamin kita menikmati hasilnya di suatu hari.

Semuanya, sewajarnya saja. Tidak perlu berlebihan.

Bandara soekarno hatta, baru beberapa bulan yang lalu Disti menangis atas perpisahan yang ternyata lumayan singkat. Sekitar, setahun yang lalu mungkin seorang lelaki menangis di malam hari dan ia berikan tisu.

Siapa sangka? Siapa yang menduga? Bahwa lelaki tersebut adalah orang yang sama dengan manusia yang sekarang begitu bersemangat menunggu kehadirannya di ujung lorong sana.

Terharu, ternyata begini rasanya di cintai dengan sangat.

Saat ia menghentikan langkahnya untuk sejenak menghapus air mata yang entah kenapa turun, laki-laki di ujung sana lantas berlari dengan cepat menuju arahnya.

Dan lantas menubruk dirinya dengan pelukan yang begitu erat, Disti yang menahan air matanya, lantas menangis dengan bergetar di pundak sang lelaki.

"Kenapa?" Tanya Pragia pelan.

Disti menggeleng, dan mengeratkan pelukan di antara mereka.

"Apa kabar?" Tanya mereka yang tanpa sengaja berbarengan kepada satu sama lain. Dalam peluk, mereka saling menatap dan tersenyum bersama.

"Kabar saya baik, kabarmu?" Jawab Pragia duluan.

Disti tertawa kecil dan melepaskan pelukan mereka, menggandeng tangan Pragia dan melangkah ke depan tanpa menjawab.

Pragia yang merasa di hiraukan pun kembali bertanya "Kabarmu, bagaimana?" Jujur, Pragia takut jika Disti kembali kesini dan ternyata tidak bahagia.

"Sangat baik" Jawab puan di depannya dengan senyum yang sangat lebar.

Kebaikan apa yang pernah mereka lakukan sehingga mendapatkan satu sama lain. Dunia apa yang seindah milik mereka hari ini.

***

Kalian semua tau, dahulu rasanya berpasrah adalah ketakutan paling besar bagi Disti Mayira. Dahulu, dia begitu takut jika dia tidak mampu.

Disti tidak mengerti bahwa sebenarnya pasrah bukan berarti menyerah, bahwa berlaku biasa-biasa saja juga bukan berarti tidak mampu.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang