Belanda: dan perbincangan akan masa depan

1K 117 16
                                    

Waktu seolah bergerak dengan giat, meninggalkan manusia-manusia malah yang suka tergulai dalam buaian hangat dunia.

Waktu seolah tak mau berhenti sejenak, membiarkan manusianya menikmati sedikit saja hidup lebih lama. Tidak, waktu tidak mau sedikit pun mengalah.

"Disti, apa kabar?"

Ruang kerja, dinginnya udara, asingnya suasana, dan lantunan lain yang tak terbiasa dalam telinganya.

Suara yang mengalun menanyakan kabar tentang dirinya, bagaimana dia? Bagaimana jiwanya?

"Baik"

Baru saja satu kebohongan kembali ia buat, berkata baik, padahal kenyatannya sangat jauh dari kebenaran.

Seseorang yang bertanya hanya mengangguk lalu menawarkannya secangkir kopi, jarang orang seperti ini. Baru bertemu kembali dan tidak canggung.

"Ku kira kamu bakalan lama di Indonesia, terakhir kita ketemu pas ada delegasi di Thailand. Berapa tahun ya itu? Dua---"

"Tiga" Pungkasnya.

Rekan lama, teman seperjuangannya dalam meraih gelar diplomat. Salah satu teman laki-laki yang cukup dekat dengannya, mudah berbaur.

Radjathama Angkuna.

Seseorang yang sempat di jodoh-jodohkan dengan dirinya semasa menempuh pendidikan dulu, laki-laki malas dan menjengkelkan yang entah mengapa sering Disti anggap sebagai saingannya dalam meraih posisi terbaik, maklum Disti masa muda adalah perempuan dengan ambisi setinggi langit.

"Masih jutek aja dis, kita udah gak bersaing kan? Kamu tetap lulusan terbaiknya." Katanya kepada Disti.

Perempuan itu justru hanya menatap sekilas "Tetap kamu yang dikirim duluan ke luar."

"Itu namanya rezeki, di luar kuasa ku."

Disti tak membalas, tak merasa mereka memiliki pembahasan penting.

Radja ini orang yang cukup berisik menurutnya, dari dulu. Dari jaman kuliah dia laki-laki yang selalu mengeluarkan suaranya untuk hal-hal tidak penting, terlihat menjengkelkan tapi nilainya selalu memuaskan. Disti dulu benci itu, laki-laki yang keliatannya gak pernah belajar. Nyatanya selalu mampu menyainginya yang setiap waktu berkutat dengan buku.

"Mau makan siang bersama?" Tawar laki-laki tersebut.

Disti menggeleng, ia sudah memiliki janji dengan laki-laki manja nan cerewet yang katanya hari ini sedang sibuk dengan proyeknya disini.

Bisa ngamuk laki-laki itu jika dia ingkar, terlebih malah menghabiskan waktu dengan kenalannya, laki-laki pula.

Beberapa waktu berhubungan dengan Pragia sedikit banyak membuat Disti belajar tentang tabiat laki-laki itu, dia cemburuan dan tidak sungkan protes.

Selain itu, Pragia tipe yang mudah ngambek namun sangat mudah juga di bujuk. Laki-laki itu selalu mengutarakan isi hatinya tanpa memendam dan pada akhirnya jengkel sendiri, tidak Pragia ternyata juga mencintai dirinya dengan terlalu, sama seperti dirinya.

Sangat klop bukan mereka?

"Maaf, tunangan ku sudah menunggu. Lain kali ya."

Bohong kalo Disti bilang lain kali padahal dia tidak ada niatan sama sekali, bukannya geer atau bagaimana.

Tapi Disti tau sejak masa kuliah laki-laki ini menyimpan perasaan padanya, hanya saja tidak berani mengutarakan. Dan untungnya pula, Disti tidak memiliki ketertarikan.

Liat saja tubuh yang terdiam setelah mendengar apa yang Disti katakan "T-tunangan?" Gagap kan?

Disti tersenyum manis, lalu mengangguk kencang.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang