Perbincangan segala arah

744 52 34
                                    

Kalian semua tau, dari dulu. Dari jaman sekolah Disti adalah salah satu orang yang begitu memikirkan masa depannya.

Disti dulu terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang belum terjadi, sibuk memikirkan jadi apa dia nanti. Tanpa dia sadar sudah begitu banyak momen berkesan yang ia lewatkan.

Sekarang semua ingin ia ubah, dia mau berbenah. Bahwa masa depan biarlah menjadi urusan yang kuasa dia tidak berhak meragukan segala takdir yang diberikannya.

Masa sekolah, masa-masa Disti sibuk mengejar segalanya. Masa dimana dia lupa ada banyak sekali hal yang tidak terulang kembali.

"Jaman sekolah dulu, kayaknya cuman Disti yang udah kebelet lulus. Inget gak, pas kita baru kelas sepuluh lah. Dia bilang, gua udah tau abis lulus mau kemana." Nina menjadi salah satu saksi seberapa Disti terburu-buru dalam waktu.

"Ada orang yang baru masuk sekolah udah nyalain alarm pulang." Sindir Nina kembali.

Semuanya hanya tertawa, ya memang benar. Disti terlalu ajaib, jika dipikirkan lewat nalar manusia.

"Kita semua sebenarnya begitu gak sih? Contohnya gua juga gitu, kita itu dulu beneran kayak orang ngejar waktu. Pengen semuanya cepet-cepet, pengen beres." Ucap Zu yang sedang memperhatikan temannya satu-persatu.

"Dulu gua tiap liat Ditya rasanya kesel banget, suer dit. Kok ada ya, orang yang santainya kayak elu. Kakak kelas, yang selalu bilang santai aja yang penting lulus." Kata Disti sembari melirik Ditya yang sedang sibuk mengganggu Aruna.

Percayalah diantara semuanya hanya Pragia yang tidak mengerti bahan obrolan mereka kali ini. Siapa sangka, hampir semua dari mereka berjodoh dengan teman semasa sekolah.

Kecuali Disti, yang dari dulu memang berani berbeda.

"Gua juga muak liat lu Dis, tiap hari nongkrong di bawah pohon mikirin hal yang belum terjadi. Inget gak lu, jaman lu hampir pingsan cuman gara-gara kecapean nugas." Balas Ditya yang mengundang tawa semuanya.

Benar lagi, kalau di ingat rasanya Disti ingin tertawa saja. Hei anak ambis, untung hidupmu bernasib baik.

"Dulu ya, setiap kita pulang sekolah. Kita selalu bilang satu sama lain, bahwa kita kuat, kita hebat. Selalu, setiap hari, dan ternyata kita emang beneran kuat. Liat aja kita sekarang." Ucap Disti sembari menatap Nina, Zu, dan Tari.

Dulu tuh, Disti sekelas sama Nina sempet pisah kelas sama Tari, dan gak pernah sekelas sama Zu. Tapi, mereka selalu sempetin untuk punya waktu bersama. Mereka jaman sekolah kalau diceritain kayaknya gak akan pernah selesai, yang pasti mereka benar-benar ada untuk satu sama lain.

Tari hanya mendengarkan sembari isi kepalanya memutar memori jaman dulu, Zu nimbrung sedikit banyak karena ya dia juga sebenarnya rindu. Nina, si paling semangat kalau inget masa sekolah, Disti si paling di ledekin.

"Inget awal kita ngejar kampus gak? Pas huru-hara kisah cinta Nina. Putusnya Zu dan Zhak tapi momen kelas tiga bener-bener yang paling ngena buat kita." Sambung Disti kembali.

Sontak semua yang ada disana pun lantas heboh, bagaimana tidak. "Inget banget lagi, jaman Nina dan Alvin terhalang restu. Nina lanjut ke UI, Alvin keluar kota balik-balik jadi penyanyi." Heboh Zu yang langsung membuat semuanya tertawa.

"Zu dan Zhak kita yang tiba-tiba asing, terus Zu yang lanjut di bidang kesehatan. Si Zhak malah ngambil teknik, eh jodohnya malah sama temennya si Zhak. Siapa coba yang mikir Zuleyna bakal berakhir sama Bintara?" Nina yang balik menyerang Zu.

"Kita, kita yang mikir mereka bakal berakhir bersama." Sahut Disti kencang.

Memang benar, walaupun dulu Zu dekat sekali dengan Zhak. Namun, harapan teman-temannya memang sebenarnya kepada Bintara.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang