Rania

1.3K 114 9
                                    

Gemerlap malam itu sudah berakhir, pesta pernikahan Nina dan Alvin sudah terlaksana dan diselesaikan dengan sangat baik.

Hari ini sudah lewat satu minggu dari malam itu, Nina dan Alvin pun sudah berada di suatu negara untuk menghabiskan momen bersama.

Sekarang Disti benar-benar menjadi satu-satunya jomblo dalam pertemanannya, Disti tidak memikirkannya. Selagi dia masih bisa makan enak, dan tidur nyenyak. Semuanya bukanlah masalah.

Disti masih bisa dengan nyaman menikmati malam di taman belakang rumahnya, merenung saja sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Disti masih bisa dengan nyaman menikmati malam di taman belakang rumahnya, merenung saja sendirian. Sebelum seseorang bergabung dengannya.

"Nikah mbak." Baru saja Disti berkata.

Disti menatap kesal adik sepupunya "Memangnya kalo mbak Nikah kamu mau ngasih mbak apa?" Tanya Disti pada adik sepupunya yang bahkan sudah seperti adik kandungnya.

"Doa. Rani kan masih sekolah, belum punya uang." Rani masih saja seperti anak kecil padahal usianya sudah beranjak remaja.

Disti tertawa lalu mengusap kepala adiknya "Nikah kan gak segampang itu Rani, banyak pertimbangan dan keputusan yang harus mbak pikirkan." Disti tau Usianya sudah sangat cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Rania Meccasafa adalah adik kecil yang selalu Disti perjuangkan kebahagiaanya, tumbuh dalam keluarga yang tidak baik-baik saja membuat Rania harus di dewasakan oleh keadaan, membuat Disti selalu berusaha menjadi tempat ternyaman untuk adiknya itu.

"Iya, mbak harus pikirkan semuanya. Jangan biarin keponakan aku nanti punya keluarga yang kaya aku, hidup mbak harus bahagia karena mbak selalu memperjuangkan kebahagiaan orang lain. Rani mau menjadi kayak mbak" Ucap Rani kepada mbak tersayangnya.

Saat dunia jatuh dan menghakiminya, saat semua seolah semu dalam bayang nya, masih ada segelintir orang yang memperjuangkan segala hal untuk keberlangsungan hidupnya, dan mbak Disti melakukan hal itu untuknya.

"Kamu ini. Mbak gak sebaik itu Ran, terkadang mbak juga bisa menjadi orang jahat. Oleh karena itu, Rani jangan menjadi seperti mbak." Disti memang tidak mendidik Rani Secara langsung, ia hanya mendukung apapun yang Rani inginkan, tapi tidak untuk menjadi sepertinya.

Rani menunjukkan raut tidak setuju atas pernyataan Disti, "kalau mbak jahat sekalipun, Rani bakalan tetep mau menjadi seperti mbak." Ucapnya dengan yakin.

"Kenapa?" Tanya Disti dengan heran.

Rani menatap mbaknya lalu menjawab "Mbak selalu bisa menjadi apapun yang mbak mau, mbak terbang ke banyak negara. Bertemu banyak orang dari segala kalangan, mbak memperkenalkan Indonesia ke dunia luar, benar-benar menjadi orang yang punya banyak pengalaman dan pengetahuan." Jelas Rani.

Disti tersenyum mendengar perkataan Rani "Kamu boleh menjadi apapun yang kamu mau, tapi kamu tidak boleh menjadikan hidup seseorang sebagai patokan mu untuk hidup, karena gak semua jalan hidup orang-orang itu sama. Sebelum mbak ada di posisi ini banyak sekali hal menyakitkan yang sudah mbak lewati, mbak mau kamu berjalan pada mimpi dan takdir kamu sendiri." Ucap Disti sembari membawa Rani dalam rangkulannya.

"Kalo di dunia ini cuman mbak yang menjadi patokan aku untuk selalu hidup bagaimana? Semua orang selalu memperlihatkan kehancurannya kepada aku, tapi mbak gak pernah." Tanya Rani dengan tatapan kosongnya.

Disti terdiam sejenak, sebelum dia membawa Rani dalam pelukannya yang hangat.

"Karena semua orang mau Rani untuk hidup secara kuat, dan mbak mau kamu menjadikan mbak sebagai tempat ternyaman. Kalo rumah saja memperlihatkan kehancurannya lalu bagaimana penghuninya bisa nyaman?"
Jelas Disti dengan santai.

"Jangan jadikan mbak sebagai patokan kamu untuk hidup, apalagi menjadikan hidup mbak sebagai tujuanmu. Jadikan diri kamu sendiri untuk selalu hidup, mbak gak bisa berjanji untuk selamanya sama Rani. Tapi diri kamu tanpa diminta akan selamanya bersama kamu." Lanjut Disti dengan mengusap-usap rambut Rani.

"Rani punya banyak mimpi mbak, tapi Rani gak berani. Memangnya Rani siapa berani bermimpi setinggi itu." Ucap Rani sembari menatap kearah langit malam.

Disti menatap Rani secara lama dan menghembuskan nafasnya perlahan.

"Kamu pernah gak berpikir bagaimana manusia bisa pergi bahkan melebihi langit itu sendiri, pergi keluar angkasa bahkan jauh di atas bintang-bintang yang ada. Kalau kita pertanyakan, memangnya mereka itu siapa?"

"Mereka tetap anak dari kedua orang tuanya, mereka tetap seorang makhluk ciptaan Tuhannya, mereka tetap manusia pada umumnya. Tapi mereka berhasil mewujudkan mimpinya bahkan di atas langit itu sendiri."

"Karena mereka tidak menjadikan langit sebagai patokan dan ketakutan mereka, mereka menjadikan langit sebagai garis permulaan dari perjalanan mereka. Jadi Rani tidak perlu takut, kalaupun langit terlalu tinggi untuk di gapai. Mbak akan membawa kamu ke atas gunung untuk mensyukuri apa yang sudah kamu gapai." Jelas Disti dengan tenang kepada Rani, anak remaja memang menyimpan banyak sekali pertanyaan dan ketakutan dalam benak mereka.

Rani menatap kagum kearah Disti lalu dia bertanya "Rani boleh bermimpi tinggi mbak? Bahkan melebihi langitnya sendiri? Rani boleh berharap lebih pada hidup Rani?" Tanyanya dengan tidak yakin.

"Boleh jika Rani siap dengan perjuangannya, ketinggian tidak akan kita gapai tanpa menggunakan tenaga. Karena mendapatkan tanpa berusaha adalah cara cepat yang digunakan oleh seorang pecundang. Dan adik mbak tidak akan boleh menjadi seperti itu." Ucap Disti dengan tegas kepada Rani.

Rania memeluk Disti kembali dengan sangat erat sembari berkata "Mbak harus ketemu sama abang baik. Kalian pasti cocok." Dasar anak ini, berbicara panjang lebar akhirnya malah mau nyomblangin Disti.

"Siapa abang baik itu? Sok kenal kamu bilang-bilang baik segala." Tanya Disti dengan tertawa karena menurutnya ini hanyalah candaan anak remaja.

Rani merenggut kesal "Dia baik tau mbak, nanti kalo mbak jemput Rani sekolah. Mbak Rani kenalin deh, dia orang kaya tau mbak. Setiap hari tapi nganterin anaknya."

Disti yang mendengarnya pun sontak kaget dan menggelengkan kepala "Kamu mau ngenalin mbak sama suami orang? Katanya abang kok punya anak udah gede." Syok Disti... Lebih baik mencari bule daripada sama suami orang udah punya buntut lagi.

"Ih mbak samping Smp Rani kan ada TK. Bukan temen satu sekolah Rani, bapaknya temen sekolah Rani mah om-om semua." Disti yang mendengarnya pun sontak tertawa kencang.

Disti berhenti tertawa dan menatap Rani serius "Ran, mbak gak mau ya kamu kenal-kenalin mbak sama sembarang orang. Walaupun dia lebih muda dari bayangan mbak, dia tetap suami orang Rania."

Rani yang mendengarnya pun sontak linglung "Udah Duda mbak."

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang