Pagi ini dalam renggang waktu yang ada, Disti menghabiskan waktunya berdiam diri memandang kearah samudera yang luas, di daerah Pantai indah kapuk, Jakarta utara.
Sudah kerap kali dibilang Disti terlalu mencintai dirinya, sehingga dia sangat amat nyaman dengan kesendiriannya.
Memandang lautan tenang tanpa ombak, melihat sekitar tanpa minat adalah kebiasaan Disti. Disti senang duduk sendirian di tengah keramaian, memandang jauh kearah orang-orang yang sedang menumpahkan segala ekspresi rasa.
Kalian mungkin bertanya, mengapa Disti tidak menghabiskan waktu dengan keluarganya? Tidak semua keluarga, bisa menjadi tempat untuk mengekspresikan rasa.
Disti tidak terlahir dalam keluarga yang monoton, sama sekali tidak. Ia dibesarkan dengan sangat baik, keluarganya bukan lah keluarga yang memusingkan segala hal, sama sekali tidak.
Disti tumbuh menjadi pribadi yang bebas, menjadi seseorang yang selalu diberikan ruang untuk menuangkan apa yang dia inginkan. Disti tidak terkekang oleh mereka. Disti selalu dibiarkan hidup menjadi dirinya sendiri.
Hal demikianlah yang membuat Disti hari ini begitu terbiasa hanya dengan dirinya. Mungkin kalian berpikir pekerjaan Disti sebagai Diplomat menggambarkan jati dirinya yang senang bersosialisasi, sebenarnya hal itu tidak begitu benar.
Disti tipe orang yang akan kehabisan energi jika terlalu sering berada dalam keramaian orang, Disti secara personal adalah manusia yang sangat mampu mendapatkan kedamaian dalam kesendirian.
Satu hal yang harus diingat Disti bukanlah orang yang tertutup, ia bisa dengan mudah meramaikan sekitar. Namun dalam waktu lain Disti hanya bisa nyaman dengan dirinya sendiri.
"Lautnya terlalu tenang, tidak memberikan adrenalin yang lebih" Ucap seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Disti pun menoleh pada suara tersebut, cukup terkejut sejenak. Namun dengan cepat bersikap tidak peduli, dia tidak punya tenaga untuk berdebat.
"Kenapa sendirian?" Tanya orang tersebut dengan muka tengilnya.
Disti hanya menatap sekilas, benar-benar tidak ada niat menjawab.
"Lagi sariawan kayaknya, saya duduk disini boleh kan ya? Mau liat suasana pagi." Tanyanya kepada Disti, walaupun sebenarnya dia tidak membutuhkan persetujuan Disti untuk menjawab.
Mereka benar-benar hanya duduk berdua melihat kearah laut sana, tidak mengeluarkan suara sama sekali.
Keheningan dalam keramaian benar-benar mereka ciptakan bersama, seolah mereka sama-sama menenangkan diri dari keramaian dunia.
"Kamu mau apa Pragia?" Tanya Disti dengan pelan setelah hampir 30 menit terdiam dalam keheningan.
Pragia pun menoleh ke arah Disti, dia hanya tersenyum samar. "Hanya mau menemani kamu disini, tidak lebih."
"Kalau begitu temani saya disini sampai kamu puas, tolong setelah itu pergi dan jangan ganggu saya." Disti bukannya tidak menghargai orang, dia hanya lelah berurusan dengan hal-hal yang tidak penting.
Pragia menatap Disti lalu tersenyum hambar "Memangnya saya tidak punya kesempatan untuk mengenal kamu lebih jauh?"
Disti tidak menjawab, Dia kembali menatap kearah lautan.
"Mau sejauh apa kamu mengenal saya? Bukannya kamu selalu mengetahui segala hal tentang saya?" Pungkas Disti kepada Pragia.
Lalu saat Pragia akan berbicara Disti pun kembali berucap "Tidak ada hal yang istimewa dalam diri saya Pragia, tidak ada yang bisa diharapkan dari saya." Ucap Disti dengan tatapan kosongnya.
Pragia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita yang biasanya bersikap angkuh ini. "Kamu kenapa?"
"Saya tidak apa-apa, memangnya kenapa?" Bukannya memberikan jawaban Disti justru melontarkan pertanyaan.
Pragia menatap Disti dengan dalam "Kamu tidak pernah meragukan dirimu sendiri, kamu selalu merasa semua hal mudah untuk dirimu."
Disti tertawa samar mendengar perkataan Pragia, "Benar. Orang lain memang selalu melihat saya seperti itu. Pura-pura menjadi baik-baik saja, ternyata terlalu sering saya lakukan."
Tanpa sadar air mata Disti turun dengan perlahan, Disti yang memang tidak pernah mau dilihat sebagai orang lemah dengan cepat menghapus air matanya.
Dengan sangat kasar Disti mengusap matanya sebelum tangan Pragia menahannya untuk tidak menyentuh matanya.
"Kalau dia mau mengeluarkan air mata, maka biarkan. Jangan kamu tahan, karena hati kamu yang akan kena sakitnya." Ucap Pragia kepada Disti.
"Biarkan, saya sudah mati rasa." Ucap Disti dengan nada angkuhnya.
Pragia yang mendengar hal tersebut pun tertawa "Mati rasa kok nangis."
Disti pun dengan kesal menatap Pragia "kamu ini selalu mencampuri urusan orang."
Pragia menatap Disti, "Apa bedanya dengan kamu?" Tanyanya dengan wajah tengil.
"Tidak usah dibahas, seperti yang saya katakan tadi. Kamu boleh menemani saya hari ini setelah itu tolong pergi, dan jangan mengganggu saya." Disti tetap berada dalam pendiriannya, membiarkan Pragia beberapa saat dengan dirinya. Sebelum setelah itu mereka tidak perlu berurusan lagi.
Pragia yang mendengar hal tersebut pun memasang wajah sedikit datar "Kalau hari ini saya berhasil membuat kamu nyaman dengan saya, boleh saya maju?"
"Saya sulit nyaman dengan orang lain, tapi jika kamu mampu membuat saya nyaman. Maka silahkan maju." Ucap Disti kepada Pragia.
Disti tidak pernah memberhentikan niat baik seseorang, dia hanya mau orang tersebut membuktikan dengan tindakan.
Jatuh cinta lagi? Setelah tiga tahun berjuang membenahi kekacauan hati. Sebenarnya tidak terlintas sama sekali dalam benak Disti.
Disti sadar Pragia tau dirinya lebih dari sekedar siapa namanya, alamat rumahnya, pekerjaannya, atau hal-hal biasa lainnya.
Pragia sangat jelas terlihat bukan sebagai orang sembarangan, mungkin dia terlihat sangat biasa dengan hanya menggunakan setelan polo, tapi Disti adalah seorang pengamat fesyen dia lebih dari sekedar tau berapa rupiah yang dikeluarkan dalam membeli satu balutan tersebut.
Disti memberikan Pragia kesempatan bukan karena hal itu, dia mau Pragia maju. Karena dia mau melihat sejauh apalagi Pragia mengetahui hidupnya.
Karena dalam bayang Disti Pragia dan Pria semacam serupa tapi tak sama.
Mereka bagaikan dua sisi mata koin yang berbeda, namun dalam satu lingkaran mata uang yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Usai
RomanceKisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia berlari hingga lelah, sampai akhirnya ia hanya bisa pasrah. Bahwa cinta itu memang selalu untuknya...