Jika kalian berpikir untuk apa Pria harus menunggu satu minggu dari kedatangannya, dan baru menemui Disti? Alasannya adalah dalam satu minggu itu Pria kembali memikirkan dan menenangkan dirinya atas perkataan ibunya. Ada sesuatu yang Pria sembunyikan dari Disti, sesuatu yang menjadi alasannya datang kesini menemui Disti.
"Kamu udah seminggu disini, kemana aja? Selain nungguin aku di depan caffe?" Tanya Disti pada Pria yang sedang duduk di balkon kostnya, Mereka hanya ngobrol di luar saja.
Pria yang sedang menggenggam segelas kopi pun memilih untuk menyeruput nya lebih dahulu dibanding menjawab pertanyaan Disti.
"Gak kemana-mana, Saya cuman ngikutin kamu doang. Ternyata selain ke kantor kbri, kamu lebih sering ke toko buku." Ucap Pria sembari menatap Disti.
Disti yang sedang menyiapkan makan pun hanya menganggukan Kepala nya tanda mengerti.
"Kenapa masih toko buku? Kamu gak pergi ke tempat-tempat lain? Bukares indah bukannya?" Runtutan, deretan pertanyaan dari seorang Pria adalah hal yang kerap Disti rindukan.
"Toko buku itu kaya tempat dimana aku bisa menemukan dunia dalam ketenangan. Bukares memang indah, Tempat-tempat lain juga sangat menarik. Tapi aku lebih membutuhkan ketenangan lewat jejeran buku-buku di rak." Jiwa Disti adalah jiwa yang tidak membutuhkan keramaian, dia menciptakan dunianya sendiri dalam ketenangan.
Pria tidak akan heran dengan jawaban Disti ini, Pria memang cukup kaku, tapi untuk masalah bersosialisasi dia memang lebih unggul dari Disti.
"Apa pendapat mu sekarang tentang pernikahan?" Sejujurnya Pria tidak mau bertanya seperti ini pada Disti, namun sayangnya dia harus.
Disti sedikit kaget dengan pertanyaan Pria dia melihat ke arah laki-laki itu dan berkata "Kenapa? Tumben kamu nanya tentang itu."
"Gapapa saya penasaran aja pendapat pun sekarang." Pria tidak lupa bagaimana tanggapan Disti tentang pernikahan. Dia hanya mau memulai pembicaraan.
Disti menatap Pria dan berkata "Pernikahan adalah ketika kita siap mental, finansial, dan potensial. Ini menurut aku ya."
"Mental, finansial, dan potensial? Maksudnya?" Pria merasa bingung dengan jawaban Disti tanpa penjelasan.
Disti menatap Pria lalu tertawa "Kamu kenapa sih mas? Jadi bingung ya. Biar aku jelasin."
"Kita butuh mental yang kuat untuk segala hal yang terjadi di dalam pernikahan, kita juga butuh finansial yang mencukupi untuk mencegah kekurangan secara materi dalam pernikahan, dan potensial itu kan artinya kekuatan, kemampuan, kesanggupan, apakah kita sudah mempunyai itu untuk berada di dalam pernikahan? Menurutku itu adalah tiga aspek yang benar-benar harus dipersiapkan." Disti merasa penjelasannya cukup jelas.
"Pernikahan memang tidak melulu tentang tiga aspek itu, tapi tiga aspek itu pun bisa sangat mempengaruhi suatu pernikahan."
Pria sebenarnya kagum dengan pemikiran Disti tentang pernikahan,
Tetapi ada sesuatu yang perlu dia pertanyakan."Dari sekian aspek yang kamu ucapkan, berapa yang sudah kamu siap?" Sebenarnya Pria tidak perlu bertanya karena dia sudah menduga jawabannya.
"Sejujurnya dari tiga aspek itu, gak ada salah-satunya yang aku siap." Dan untuk sekian kalinya Pria tidak heran dengan jawaban seorang Disti.
"Apa yang membuat kamu gak yakin? Mental, kamu menuliskan tentang kesehatan mental dan motivasi hidup yang sekarang menjadi pacuan bagi anak-anak muda. Finansial, saya rasa pendapatan kamu dan saya sudah lebih dari kata cukup. Potensial, saya pikir pernikahan kita nanti akan menjadi pernikahan yang sangat berpotensial, lalu apalagi yang harus kamu persiapkan?" Pria berbicara dengan tegas seolah-seolah semuanya memang semudah yang dia ucapkan.
Disti tertawa hambar "Andai semuanya semudah itu mas, andai aku pun menjalankan apa yang aku katakan kepada mereka, finansial kita memang tidak bermasalah, potensial kita pun bagus. Tapi bagaimana yang membuat aku tidak siap adalah kamu sendiri."
"Saya? Apa yang membuat kamu tidak siap dengan saya?" Selama kurang lebih tiga tahun mereka menjalani hubungan ini, Pria memang sadar ada keraguan yang Disti taruh pada hubungan mereka.
Disti menatap Pria secara dalam lalu tersenyum sambil berkata "Kamu sempurna mas, kamu terlalu tinggi sampai aku takut gak bisa menggapai kamu. Aku sadar bahwa dari dulu hubungan kita bukan lah tentang kita berdua saja, ada mereka di sana, yang masuk dan mengontrol kita secara tidak langsung."
Dan untuk ini Pria memang setuju, hubungan mereka memang lah tidak pernah tentang mereka saja.
"Atmadja itu terhormat kan mas, keluarga kamu memiliki standar tinggi sejak dulu. Entah kamu sadar atau enggak, ada perjanjian dan kesepakatan, tertulis maupun tidak yang telah mengatur hidup para keturunan Atmadja. Aku mengikuti berita keluarga mu dari aku kecil, dan ternyata aku sendiri yang terjebak di dalamnya." Ucap Disti dengan tenang.
"Kamu bukannya gak siap sama saya, kamu gak siap menjadi bagian dari keluarga saya." Memang benar.
Disti meletakkan tangannya pada telapak Pria yang terbuka "Keluarga kamu baik banget mas, tapi mungkin kamu juga gak sadar bahwa kebaikan mereka adalah untuk menyadarkan dimana posisi ku berada."
Sadar, Pria baru menyadari itu akhir-akhir ini. Saat ibunya memintanya untuk menikah, tapi tidak menyebutkan nama Disti sekalipun.
Pria mengenggam tangan Disti sangat erat, seolah-seolah jika ia lepaskan sekali saja tangan ini tidak akan kembali ke genggamannya.
"Lalu, apa akhir dari hubungan kita?" Pria bertanya pada Disti, berharap Disti jawaban Disti memberikannya ketenangan.
Disti memeluk Pria dan berbisik di telinganya "Jangan tanyakan pada aku, tanyakan itu pada keluarga mu."
Pria membutuhkan jawaban dari Disti, bukan jawaban dari keluarganya yang sudah dia ketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Usai
RomanceKisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia berlari hingga lelah, sampai akhirnya ia hanya bisa pasrah. Bahwa cinta itu memang selalu untuknya...