Pembahasan tak dimengerti

1.1K 92 7
                                    

Untuk sekian kalinya dalam rentang waktu yang sangat jarang, momen yang sudah lumayan terasa asing dalam benak Disti kembali ia rasakan. Ia lahir sebagai gadis keturunan jawa dan betawi dengan kedua darah yang begitu kental. Setiap di waktu luang keluarga besarnya selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul dan saling bercengkrama. Waktu luang mereka yang hanya sekali dalam enam bulan.

Malam ini setelah pulang dari kantor kedutaan Disti sudah di teror untuk segera datang ke rumah Mbah kung nya. Kakek dari pihak bapak. Sebenarnya Mbah kung, dan Mbah uti sudah berpulang sejak Disti kecil, hanya saja sampai hari ini rumah peninggalan mereka masih menjadi tempat paling nyaman untuk keluarga itu bertemu.

Disti adalah tipikal anak yang lebih dekat dengan para kakek dan neneknya, baik dari ibu, dan bapak. Saat kecil Disti tinggal dengan nyai sebutan nenek untuk orang betawi nenek dari ibunya, lalu beranjak remaja saat ia ingin lebih dekat dengan mbah kung ternyata Tuhan memiliki rencana lain dengan mengambil mbah kung lebih dulu untuk kembali berkumpul dengan mbah uti di surga. Nyai? Sudah berpulang lima bulan sebelum Mbah kung juga dipanggil sang ilahi.

Sejak saat itu Disti tumbuh menjadi anak yang lebih tertutup dengan sekitar. Ia selalu iri dengan semua orang yang masih memiliki kakek dan nenek sebagai tempatnya berpulang, ia memiliki engkong suami dari nyai, kakek dari pihak ibunya. Hanya saja waktu, dan keadaan sering menjadi penghambat dari pertemuan mereka.

"Andai mbah kung tau gimana cucunya sekarang, dia pasti pasti bangga sama kamu tih." Tih nama panggilan Disti dari keluarga besar bapaknya.

Disti tersenyum, rumah ini selalu berhasil mendatangkan tawa untuknya. Rumah yang berisikan segala macam rasa, Disti ingat sekali. Dahulu saat ia kecil mbah kung akan duduk di salah satu kursi kebanggaannya di setiap hari raya sembari menunggu anak, cucu, dan menantunya satu persatu ber sungkem kepadanya. Dan selalu, rumah ini selalu membawa rindu itu.

"Kamu inget gak? Jaman kamu kecil. Pas mbak mu Dhina remaja. Mbah duduk di bangku ini, terus bilang bahwa cucunya harus menjadi orang yang hebat, menjadi orang berguna yang membantu sesama. Impian mbah untuk cucunya luar biasa tinggi, karena beliau mau kalian hidup sebagai sebaik-baiknya manusia." Ucap sang budhe sembari mengelus rambut Disti, tatapan yang sangat memancarkan rasa rindu yang luar biasa.

Tanpa sadar air mata selalu turun setiap kali Disti mengingat mendiang mbah kung, ada rasa penyesalan yang tidak pernah bisa Disti ungkapan secara jelas.

"Tih belum menjadi manusia yang baik budhe, masih sangat jauh. Tih belum menjadi seperti mbah yang menghabiskan hidupnya untuk melakukan kebaikan masih banyak sekali hal yang Tih lewatkan. Masih banyak tangisan orang-orang yang Tih diamkan, banyak kesedihan mereka yang gak Tih gubris, Tih masih egois budhe." Ucapannya kepada sang budhe.

Budhe Uthia pun tersenyum, melihat kearah ponakan kecilnya yang kini sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Melihat bayi kecil yang dulu masih selalu menangis dalam gendongnya, kini tetep menangis dalam pangkuannya. Balita kecil yang merengek akan bola, kini bahkan sudah mampu menghidupi dirinya sendiri.

"Kamu pikir kita harus menjadi sempurna? Tidak sama sekali. Dulu budhe juga sama seperti kamu, merasa kita tidak pernah sampai cukup. Persis, kamu itu aku saat masa muda, kejar Karir sampai tidak peduli semua. Cukup jadi orang baik, dibandingkan kamu harus menjadi orang munafik." Katanya dengan tenang.

Saat ia melihat tanda tanya di raut wajah ponakannya ia pun dengan segera menjelaskan "Kamu boleh baik, tapi tidak terhadap semua orang. Kita gak bisa munafik dengan melihat bahwa semua orang baik, tidak sayang." Katanya dengan tegas.

Benar. Tidak semua orang layak untuk mendapatkan kebaikannya, masih banyak orang-orang diluar sana yang jauh lebih membutuhkan kebaikannya.

"Budhe gak mau nanya ke kamu kapan nikah. Tapi budhe harap kamu masih menginginkan hal semacam itu. Jangan seperti budhe. Uang boleh kamu cari, tapi tidak dengan mengorbankan diri." Budhe Disti menikah pada usia yang sudah kelewat matang, di usia yang sudah hampir menginjak kepala empat.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang