Pamit Sebentar

1.2K 106 16
                                    

Semua orang berkata. Datang akan pergi, lewat kan berlalu, ada akan tiada.

Mari kita buktikan itu semua, bahwa tak selamanya pertemuan akan berakhir dalam pelukan abadi. Kadang waktu suka sedikit lebih kejam dengan memisahkan.

Hidup sebagai anak perantauan sejak dini, membuat Disti sudah sangat terbiasa dengan segala macam proses perpisahan. Huh, seberapa banyak pun. Ternyata rasanya tetap saja menyesakkan dada.

"Dan lu sama sekali gak bilang ke kita Dis, semuanya. Tentang hubungan lu, bahkan kepindahan lu. Ternyata masih segitu lu menganggap kita?" Suara selanjutnya yang terdengar setelah penjelasan Disti tentang hidupnya beberapa waktu terakhir.

Meja yang biasanya berisikan canda riang para sahabat, kini menjadi saksi serpihan kecewa mereka. Ya Disti, akan kembali pergi tanpa sebelumnya berkata kepada mereka.

Nina menjadi salah satu orang yang paling menunjukkan ekspresinya di sana, perkataan dia sebelumnya bahkan rasanya tak cukup untuk meredakan rasa kecewa yang mendalam.

Zuley dan Tari? Mereka masih setia mendengar dengan terkadang Zu yang ikut andil, lalu Tari yang menghela napasnya dalam-dalam.

Disti yang sejak tadi diam mendengarkan Nina berbicara pun mulai membuka suaranya kembali "Lu pikir gua mau pergi tiba-tiba gini? Banyak yang gua korbankan. Masalah hubungan? Gua juga masih proses, ada waktunya." Ujarnya pelan, bermaksud agar Nina dapat mengerti.

"Kapan waktunya? Saat lu udah putus lagi kayak dulu. Itu waktunya? Jangan-jangan gua bahkan tau pernikahan lu nanti pas dapet undangan." Katanya dengan sinis, dan dengusan yang syarat akan kekesalan.

Disti menghela napas kasar "Gak semua orang bisa berbagi rasanya secepat lu, tolong. Gua juga butuh waktu bahkan untuk menjelaskan ke diri gua sendiri. Gua bukan lu yang akan dengan cepat bisa berbagi ke orang lain, ada sisi dimana gua butuh waktu untuk diri gua dulu."

"Setidaknya lu bisa cerita dengan kirim pesan ke kita, bukannya main langsung pamit pergi. Lu dari dulu gak pernah berubah, selalu ngerasa diri lu gak punya orang lain. Ngerasa lu gak butuh orang lain, kita ini apa sih? Lu anggap apa?" Seru Nina kembali menggema, Nina memang orang yang sangat sensitif jika sudah menyangkut perpisahan, semua hal baginya salah karena menurutnya perpisahan seharusnya tidak ada.

Disti membuang muka tanda menahan emosi, dia akan sangat berbahaya jika sudah kelewat emosi. Ucapannya terkadang tak dapat di kontrol.

"Sabar Nin, dengerin penjelasannya. Nanti lu marah-marah akhirnya lu juga yang nyesel." Pangkas Zu kepada Nina menenangkan.

Disti mengambil cangkir di hadapannya lalu menyeruput dengan tenang, harus sangat amat tenang guna menahan emosinya "Nin. Boleh gua jelasin?" Katanya dengan datar dan pelan.

Nina yang sebelumnya menggebu-gebu dalam menunjukkan emosinya, kini terdiam setelah mendengar Disti berujar singkat. Disti tidak akan seperti ini, jika perempuan itu tidak benar-benar sedang lelah. Nina jadi merasa bersalah.

"Gua mau kirim pesan ke kalian, tapi akhir-akhir ini gua lumayan ruwet. Kalian semua tau, cara gua menyelesaikan masalah itu kayak gimana. Gua butuh diri gua sendiri, gua berusaha buat bahagiakan diri gua setelah berhasil gua akan berbagi ke kalian. Bukannya gua gak mau cerita." Jelasnya dengan nada lelah, sungguh banyak hal yang harus dirinya lewati, dan itu semua tidak lah mudah.

Tari yang dari tadi diam pun, memberikan Disti minum sebelum kembali menjelaskan. Perempuan itu malas jika harus berargumen terlalu dalam, dia lebih suka menjadi pendengar yang baik.

Disti mengangguk kearah Tari lalu menerima dan mengucapkan terimakasih, sebelum kembali berbicara "Gua juga tau kabar di pindahin mendadak. Baru beberapa hari yang lalu, dan ternyata harus di percepat karena satu dan lain hal. Gua kira masih satu bulan, gua masih punya waktu buat bilang ke kalian. Ternyata gua harus terbang lusa." Katanya melanjutkan penjelasan.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang