kebenaran yang benar

1.6K 124 19
                                    

Kegilaan macam apa lagi yang Disti temukan? Saat dengan pelan ia mengetuk pintu masuk apartemen Asmara, dan diperintahkan untuk masuk saja. Namun apa yang dia lihat? Laki-laki ini... Sebenarnya Disti sudah menyiapkan hatinya sebelum berangkat ke tempat ini.

Dan apa lagi yang Disti lihat di sana selain Pria? Ohh banyak! Ruang apartemen yang bagaikan kapal pecah karena menabrak gunung es di Antartika.

Lalu, tali yang menggantung dari atas lantai Mezzanin pada ruang tengah hingga bawah. Semacam tali orang mau bunuh diri? Wanita ini mau bunuh diri? Kenapa gak jadi?

"Di sini juga Sastrana? Saya kira sebelumnya kamu tidak kenal loh. Ternyata! Sangat amat dekat. Bilang-bilang dong harusnya, lalu ini bagian dari kerjaan kamu kah? Tadi bilangnya mau kerja." Disti bukanlah tidak marah, bukan juga tidak kecewa. Dia hanya membawa santai, demi penjelasan yang ingin ia dapatkan.

Sastrana. Sesungguhnya sangat bahaya jika Disti sudah memanggil laki-laki itu dengan nama depannya, karena jika begitu artinya Disti sudah tidak menganggapnya istimewa.

Pria pun mulai berbicara "Mbak Titi. Boleh dengarkan penjelas--"

"Untuk apa di jelaskan?"

"Kamu memang harus menjelaskan."

Dua suara yang terdengar begitu kontras di telinga Pria membuatnya sedikit emosi pada salah satu wanita di sana, Pria tidak suka hidupnya di kendalikan.

"Riana? Apa maksud kamu dari saya tidak perlu menjelaskannya pada Disti, kita sudah sepakat." Ucap Pria dengan tegas pada wanita di hadapannya.

"Kesepakatan apa yang kalian buat?" Disti bingung, ia mau marah, kecewa, nangis tapi kok ya gak sudi.

Asmara yang mulai melihat adanya emosi pada dua orang di depannya ini pun memulai rencana yang sudah ia persiapkan.

"Kesepakatan untuk Pria memutuskan kamu di hadapan saya." Ucap Asmara dengan begitu santai.

Dan benar... Disti tidak lagi kaget, dia sudah memperkirakan ini semua. Saat Pria bertanya padanya tentang pernikahan, mempertanyakan kemungkinan dari hubungan mereka, sedangkan laki-laki itu selalu tau jawabannya.

Pasti perjodohan. Apalagi memangnya?

"Pria? Bukannya kamu yang bilang sendiri, bahwa kamu hanya boleh memanggilnya Sastrana? Ini saya tidak jadi di bunuh kah? Padahal saya sudah memperhitungkan dosa dan amal kebaikan saya selama perjalanan kesini." Aneh memang Disti terkadang, gak di bunuh kok ya malah nantangin.

Asmara yang mendengar perkataan Disti padanya membuat ia emosi, dia berpikir jika berkata semacam itu Disti akan takut dan dengan pasrah menyerah.

"Kalo dia sampai bunuh kamu, mayat dia yang lebih duluan sampai pada orang tuanya." Ucap Pria dengan tegas dan emosi melihat Asmara.

Disti tertawa lalu berkata "Kalian di jodohin? Lalu Pria adalah laki-laki idaman kamu semasa sekolah Asmara? Dan juga kamu berharap saya mati agar kamu bisa sama Pria?"

Disti diam, sampai dia melanjutkan perkataannya "Padahal kamu tidak sama sekali membutuhkan kematian saya untuk bisa bersamanya. Jangan menjadi murah dan bodoh dong Asmara, kamu sudah diberikan kesempatan sangat besar oleh kedua orang tua kalian untuk bisa bersama. Nyawa ku tidak berarti pada kelangsungan hubungan kalian nanti Asmara..."

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang