Berdua

1.2K 115 6
                                    

Kenyataan memang terkadang selalu menyakitkan, takdir yang Tuhan berikan terkadang susah untuk di terima secara lapang.

Begitu pula bagi Disti menerima kenyataan bahwa dia pernah begitu hancur di masa lalu terkadang sulit untuk dia terima, bukannya tidak ikhlas tapi manusia ada saja hatinya.

Disti bungsu dengan segala kerumitannya, selalu di tuntut untuk lebih baik dari para kakak, harus menjadi anak membanggakan yang akan bapak pamerkan saat kumpul keluarga, dia di bebaskan namun harus tetap menjadi yang terbaik.

Lalu bagaimana dia bisa bebas?

Andai kalian semua tau, impiannya pergi ke segala penjuru dunia adalah untuk kabur dari tempat yang dikatakan sebagai rumah.

Disti benci terlalu di bebaskan, Disti benci saat dia dipaksa memilih semuanya sendiri namun hasil akhirnya tetap harus kesempurnaan.

Bohong, jika Disti tidak takut bahwa pilihannya tidak membawa dia pada segala hal yang terbaik.

"Ya itu pilihan mu, mau belanda atau menikah? Bapak serahkan ke kamu." Huh... Disti lelah, kapan dia bisa diberikan saran? Kapan dia akan menjadi anak lain yang di berikan pilihan, dia lelah selalu mencari pilihannya sendiri.

Terkadang anak yang terlalu di bebaskan juga tidak sebebas yang di bayangkan. Mereka di bebaskan tetapi ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus mereka jalankan.

Percayalah, itu sangat melelahkan.

"Tih kadang bingung, apa yang sebenarnya tih sendiri mau? Kadang kalo di pikir kok tih kayak orang gak tau diri ya pak." Ujarnya kepada bapak yang sedang duduk di teras, sedangkan dia berdiri bersandar pada pintu masuk rumah.

Bapak menganggukkan kepala tanda setuju bahwa putrinya memang tidak tau diri.

"Kok ngangguk pak?" Kesal Disti pada sang bapak.

"Itu contohnya, kamu nanya di kasih jawaban tapi gak nerima. Tih hidup idealis itu bagus, kalo kebangetan juga bisa mumet." Bapak berkata sembari terkekeh pelan, putrinya ini sedari dulu selalu keras kepala.

Disti menghela napas kasar, bicara sama bapak dari dulu selalu membuatnya naik darah. Ada saja perbedaan pandangan di antara mereka.

"Kenapa dari dulu bapak ibu selalu membebaskan hidup kami, tih, mbak, abang. Semuanya terlalu di bebaskan." Tanyanya tanpa sungkan.

Bapak tersenyum lalu menyuruh Disti duduk di bangku sampingnya "Dunia itu sudah bikin pusing, bebannya berat. Bapak ibu mau kalian tau bahwa memiliki pilihan adalah hak semua orang. Biar kalian tau apa yang kalian mau, bapak ibu di besarkan dengan cara seperti itu."

Disti menyimak merasa tidak setuju dengan pendapat sang bapak.

"Tapi pak, terlalu bebas kadang bikin kita gak tau arah tujuan. Terbukti tih, selalu bingung kemana selanjutnya tih harus melangkah." Katanya sembari menatap bapak.

"Tapi kamu bisa kan menentukan?" Pertanyaan yang lantas di balas Disti dengan anggukan.

Bapak merangkul putrinya, membawa Disti bersandar pada bahunya.

"Hidup berat tih, bapak tau. Bapak minta maaf selalu menuntut yang terbaik tanpa mengarahkan. Maaf hanya memberikan tujuan tanpa alamatnya." Ucap bapak penuh sesal.

Disti tak merasa bahwa ada air mata yang meluncur dari kelopaknya, tak sadar sampai tangan bapak yang mengelapnya.

"Kamu tau kan, hidup bapak sedari kecil selalu harus menjadi panutan. Bagia adik, sepupu, dan semuanya. Bapak yang paling tua. Sedangkan ibumu, memang selalu di bebaskan sedari kecil, nenek tidak suka menuntut orangnya. Kamu kenal nenek lebih dari siapapun, dari sana lah cara asuh kami bermula." Penjelasan bapak memang sangat dapat Disti terima.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang