Persiapan

1.3K 103 24
                                    

Ini sudah sekitar 1/2 bulan dari pertemuan santai mereka di grand Indonesia, sudah semakin dekat dengan acara pernikahan Nina dan Alvin. Waktu memang tidak terasa, selama dalam kurung waktu itu pula Disti mencoba untuk tidak berurusan dengan Riana, sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan oleh Nina padanya. Disti pun dengan santai berkata biar waktu yang menjawab, dia menjamin 100% urusannya dengan Riana tidak akan berpengaruh pada Nina dan Alvin, karena memang nyatanya antara Disti maupun Riana memilih untuk tidak membawa masalah mereka kepada yang lain.

Walaupun Disti harus kembali bertemu dengan orang problematik seperti Riana, setidaknya dia harus sedikit bersyukur karena dalam waktu persiapan Riana jarang sekali terlihat. Mungkin saja dia sibuk menjadi ibu rumah tangga sekaligus Nyonya muda keluarga kaya raya.

Disti tidak peduli, dan tidak mau memusingkan hal semacam itu.

"Dis kebaya lu udah jadi, mau dibawa pulang langsung atau taro di sini aja? Punya Zu sama Tari masib di sini sih." Tanya Nina kepada Disti sembari menunjukkan hasil dari kebaya milik Disti.

Disti yang sedang sibuk memastikan jumlah undangan pun menengok sekilas ke arah Nina "Taro sini aja dulu, mungkin nanti h-3 gua bawa pulang, kita pakaian dari rumah kan? Nyampe ballroom udah rapi."

"Iya dari rumah, sebenarnya kalo mau dandan di hotel juga gapapa. Zu sama Tari milih stay di hotel deh, ya tau sendiri lah heboh mereka kan sambil ngurusin Abi sama Aruna juga,  Mereka di hotel biar gak ribet aja." Jelas Nina sembari mengecek kembali list teman-teman sekolahnya yang ingin di undang.

"Ini gua harus undang semua teman kelas? Satu angkatan atau yang dikenal aja." Jujur Nina sudah pusing sekali masalah undangan dari kemarin, Nina dan Alvin adalah teman satu sekolah yang otomatis teman mereka sebenarnya sama saja, tapi karena pada saat masa sekolah mereka berdua sama-sama anak terkenal yang dikenal hampir seantero sekolah membuat mereka bimbang siapa saja yang harus mereka undang.

"Kapasitas yang lu siapin kan 1000, 250 tamu buat orang tua Alvin, 350 buat kolega dan segala macemnya dari orang tua lu, dan sisa sekitar 400 buat teman-teman yang kalian mau undang, pilih yang bener-bener deket aja. Jangan yang cuman senyum doang kalo ketemu juga lu undang, gak muat gedungnya nanti."

Disti memang satu-satunya yang belum nikah, namun pengalamannya bekerja pada wedding planner membuatnya tidak begitu asing dengan hal-hal semacam ini.

"Temen gua paling 150, temen Alvin ya karena dia di entertainment pasti lumayan banyak jadi dia sendiri 250, kok orang tua gua malah lebih banyak ya? Mau ngundang siapa aja mereka sampai 350 orang." Nina ini heran, perasaan ini acara pernikahannya lah kok orang tuanya yang lebih banyak tamunya.

Disti pun heran ini pernikahan apa pesta rakyat sih kok rame amat, "Ya gua gak tau, orang tua lu kan banyak relasi gak enak mungkin kalo mereka gak undang. Ya biasalah menambah relasi artinya menambah pundi kekayaan." Betul juga, hidup dalam lingkungan semacam keluarga Nina memang yang diperlukan adalah koneksi dari satu orang ke orang lain.

"Di siarin ke TV gak Nin? Biasanya Artis kalo nikah begitu, ditayangin secara live." Iseng saja Disti bertanya seperti ini, maklum calon suami Nina alias Alvin adalah aktor film muda sekaligus musisi ternama, ya walaupun banyak filmnya yang amblas. Tapi namanya cukup diperhitungkan dalam lingkup selebritis.

Nina pun seketika ketawa sendiri "Sebenarnya mah adalah yang nawarin, tapi lu tau sendiri bapak gua langsung say No! Tanpa babibu, lagian  bokap gak mau muka anaknya di pajang-pajang sepanjang acara di TV."

Disti yang dengar begitu pun langsung ngakak sendiri "Iya juga ya, gak kebayang muka lu nongol di TV rumah gua dari pagi sampe sore."

"Lagian Alvin juga gak nerima yang kaya gitu, kalo mau di beritain ya silahkan asal masih wajar. Sesuai porsinya aja lah, gak di lebih-lebihin atau gimana." Alvin itu tipikal Musisi dan aktor yang lumayan tertutup kehidupannya, dia bukanlah orang yang setiap hari dapat dilihat di acara-acara show di stasiun televisi.

Secara gamblang Alvin sebenarnya dikenal sebagai orang layar lebar, wajahnya lebih familiar bagi mereka penikmat film bioskop. Sedangkan, dirinya sebagai musisi lebih dikenal saat dia menjadi bagian dari jajaran juri dalam pemilihan bakat tarik suara untuk idola cilik, suaranya dan lagunya memang tidak perlu di ragukan.

Kemunculan Alvin dalam acara stasiun TV sebenarnya sangat mudah untuk dibaca, antara dia mempromosikan filmnya atau ketika dia menjadi juri dalam pemilihan bakat.

Jadi jangan menaruh harapan Alvin bersedia pernikahannya menjadi konsumsi khalayak secara gamblang, dia berprinsip bahwa stasiun TV harus menayangkan tayangan yang lebih bermanfaat dibandingkan siaran pernikahan artis belaka.

"Kalo pernikahan lu masuk akun-akun gosip gimana?" Disti penasaran dengan jawaban calon istri aktor ini.

Nina menatap Disti lalu menjawab santai "Resiko, namanya juga gua nikah sama publik figure. Satu dua berita tentang pernikahan gua nanti pasti ada, tapi selagi itu masih yang baik-baik ya why not kan?"

Disti sadar bahwa menikah dengan artis tidak akan merubah Nina secara signifikan, mungkin dia memang akan lebih menjaga sikap dirinya di luar sana, tapi secara internal Nina tidak ada akan berbeda sama sekali.

"Alvin pernah bilang ke gua, kalo suatu saat gua nikah sama dia. Maka pandangan orang terhadap dia juga akan tertuju ke arah gua, istilahnya apa yang kita berdua lakukan akan menjadi pandangan orang ke kita satu sama lain. Mangkanya kita harus saling menjaga sikap di depan khalayak secara harfiahnya kita tetap jadi diri kita sendiri tapi dalam hal yang lebih baik gitu. Ngerti gak maksud gua?" Jujur, Nina lumayan sulit untuk menjelaskan hal ini kepada Disti.

"Ngerti. Itu kenapa lu bilang Alvin tetep jadi dirinya, dia juga gak merubah lu menjadi orang lain, terus kalian ya tetep jadi kalian doang. Kalian tetep jadi versi kalian masing-masing, tapi saat kalian bersama kalian jadi versi yang lebih baik dari sebelumnya saat masih sendiri. Begitu bukan?" Memang butuh kemampuan membaca siasat saat berbicara semacam ini.

"Iyaa betul semacam itu, kita berdua jadi lebih baik saat bersama tanpa meninggalkan siapa kita sebenarnya." Hubungan yang cukup memiliki pondasi yang besar menurut Disti.

"Terus lu kapan?" Tanya Nina kepada Disti.

Disti menatap kerah Nina lalu tersenyum simpul "Nanti kalo udah ketemu sama bule yang tepat." Dasar Disti selalu bule yang menjadi tameng untuk menjawab pertanyaan semacam itu.

Nina kesal sendiri jadinya "Serius, masih belum berfikir buat punya hubungan serius?" Tanya Nina sangat penasaran dengan temannya yang sangat suka hidup sendirian ini.

"Masih, masih belum, dan sepertinya akan terus belum. Gua gak suka terikat sama orang Nin, gak bisa hidup dalam genggaman seseorang. Mungkin nanti ada saatnya gua ketemu sama genggaman yang tepat, tapi buat sekarang selagi masih bisa menikmati yaa gua mau nikmatin aja dulu." Disti masih mau menikmati hidupnya sendiri, bebas terbang kemana saja dia mau. Bebas melakukan apapun yang dia inginkan.

Karena menurutnya hal semacam itu adalah pengalaman sekali seumur hidup, dia bisa menjelajahi dunia, belajar lebih banyak lagi tentang kehidupan, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya sampai nanti tiba saatnya dia siap menjadi istri sekaligus ibu yang baik bagi suami dan anak-anaknya.

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang