Atmadja

1.4K 99 11
                                    

Hari selalu berjalan dengan cepat, waktu seolah berlomba-lomba untuk terus bergerak, seakan detik, menit, dan jam tidaklah ada artinya.

Terkadang Disti benci dengan dirinya yang tidak pernah bisa terlepas dari buaian masa lalu, seakan-akan sekian tahun yang sudah berhasil ia lewati hanyalah sebagai hitungan kalender Masehi.

Disti benci mengingat masa lalunya, ia benci merasa bodoh dengan dirinya sendiri. Disti yang ia kenal adalah Disti yang selalu menjadi ulung dalam segala hal, karena memang untuk itu ia dibesarkan. Bukannya menjadi bodoh yang selalu terperangkap dalan kisah cinta menjijikkan.

Dan kebodohan Disti akan terus terulang, jika di setiap penghujung hari yang ia lewati. Disti terjebak pada bacaan masa lalunya, terjebak pada buku yang dulu menjadi tempat terbaiknya bersuka-duka. Iya, dia masih membacanya di setiap hari dalam hidupnya. Sepertinya halnya saat ini.

Kisah hari ini, dalam dunia bagian Bukares.

Disti Mayira, semua orang selalu mengatakan aku beruntung sekali menjadi seorang Disti Mayira. Dalam pandangan mata mereka, hidup ku adalah versi berhasil dari seorang jiwa anak kecil yang tumbuh dalam kedewasaan.

Tidak apa, aku bersyukur hidup ku di lihat baik-baik saja.

Sepertinya dewasa seperti yang dikatakan orang-orang, belum maksimal aku lakukan. Terbukti satu hari penuh ini, hanya kegiatan menulis buku inilah yang paling berguna dari yang kulakukan, selain menangis, dan kecewa seharian.

Pria. Dari awal aku kan sudah berkata jangan datang pada hidup ku dan menjebak ku dalam permainan rasa. Aku juga sudah pernah berkata bahwa aku tidak percaya adanya cinta dengan nyata, karena aku tidak di biasakan hidup dalam sebuah cinta.

Tapi... Kamu dengan lagak sok benar berkata, apa salahnya memberikan kesempatan untuk cinta? Iyaa, memang tidak salah. Tapikan kalo sakit tetap hati ku yang merasakannya.

Dalam rentang beberapa hari terakhir, kedatangan mu menghiasi hari ku di sini. Sangat cukup untuk menuntaskan rindu yang lama terpendam, sampai-sampai hati ku yang kamu paksa untuk tengelam.

Dulu, aku memang pernah bilang pada mu Sastrana bahwa jika kamu sudah tidak menjadikan aku tujuan dalam hidup mu maka katakanlah, biar aku pergi menjauh dan mencari tujuanku sendiri. Ingat! Aku berkata menjauhi, bukan membuang.

Tapi lucunya, malah kamu yang membuang aku dengan dalih kita lebih baik jika berpisah.

Sialan, kamu pikir aku dan kamu adalah sampah organik dan non organik yang perlu di pisahkan untuk menjadi lebih baik.

Sastrana aku tidak pernah mau menjadi bodoh dalam cinta, aku tidak rela jiwa ku ini terjebak dalam hal semacamnya. Aku memang perempuan sombong nan egois, sebelum kamu berkata bahwa kamu menerima ku apa adanya.

Kenapa kilas kejadian itu terlintas di otak ku.

Hal yang terjadi, dan Bukares tidak lah memberikan kenangan indahnya.

Pada hari itu setelah perbincangan mereka di balkon apartemen Disti, Pria berpamitan untuk pulang ke hotelnya karena ada satu dan lain hal tentang pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Disti hari itu hanya melanjutkan hari dengan meminum hot chocolate, dan menonton series drama dalam layar besar di ruang tamunya.

Hanya gloseran dan rebahan yang ia lakukan, sangat amat tidak memiliki pekerjaan. Sampai terdengar denting dalam ponsel yang menandakan bahwa terdapat pesan yang masuk.

Asmara.
Datang, atau aku yang pergi.

Apa maksud dari wanita satu ini? Heran Disti, hidupnya kok banyak sekali drama.

You.
Apa maksudnya Mar? I'm busy right now.

Dibandingkan harus memusingkan wanita itu dan pergi keluar, lebih baik Disti menjadi pemalas seharian.

Asmara.
Datang. Jika kamu tidak mau melihat berita kematian dari wanita Indonesia di Bukares yang indah ini.

Gila! Manusia ini memanglah hanya diberkahi kecantikan tapi tidak dengan otaknya.

You.
Kamu mau mati Mar? Silahkan. Biar keluarga mu yang mengurusnya esok hari. Your family is have a power right? Mungkin waktunya kamu menggunakan power keluarga mu.

Bukannya Disti tidak punya simpati sebagai manusia, tapi Disti adalah orang yang benci berpura-pura. Ia benci terlihat baik padahal munafik.

Asmara.
Kamu yang mati Disti, bukan aku.

Ya Tuhan ku! Disti tidak habis pikir dengan wanita satu ini. Apakah dia bener-benar tidak mendapatkan jatah otaknya? Wanita gila!

You.
Kenapa harus aku yang mati? Jika yang tidak berguna adalah dirimu.

Mereka masih baik-baik saja beberapa minggu kemarin, bahkan sekian hari kebelakang pun mereka masih biasa saja. Disti memang tidak suka dengan Asmara, tapi ya tidak sampai melontarkan kata-kata yang tidak pantas, Disti tau batasan. Lalu ada apa dengan wanita ini?

Asmara.
Kalo kamu mati, aku yang akan berakhir bersama Pria Atmadja.

Sial! Ternyata benar dugaan Disti sebelumnya. Wanita gila ini mengincar kekasihnya.

You.
Kalo aku mati, kamu hanya menjadi pelacur dalam hidupnya Asmara. Laki-laki tidak akan melupakan kekasihnya yang mati.

Lalu... Jangan terlalu percaya diri, kamu pikir Atmadja mau merusak kesempurnaannya dengan menikahi pembunuh?

Ambil dia dengan baik-baik, rebut dia secara manusia.

Jika kalian pikir Disti tenang dalam membalasnya, kalian salah besar.
Wanita mana yang tenang saat diancam dibunuh hanya karena laki-laki? Mana di negara orang pula.

Asmara.
Atmadja memilih ku, keluarganya ada pada pihak ku? Membunuh bukanlah hal baru dalam kehidupan keluarga itu bukan?

Dia benar... Atmadja bukanlah keluarga yang bersih dari jejak kejahatan. Menjadi old money dengan dinasti yang menggurita membuat Atmadja terbiasa melilit banyak orang, racun yang mereka tebarkan memanglah tidak terdeteksi, namun racun itu bekerja dengan baik.

You.
Kamu dimana?

Asmara.
Apartemen ku.

---------⏱--------

Cerita Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang