Ini sudah lewat dari pukul satu malam, sudah lewat dari jam tidur ibu. Sudah jauh Disti bercerita tapi sepertinya dia tidak sanggup melanjutkannya.
Mereka masih dikamar Disti, Bapak tidak ada di rumah dan masih betah berada di kampung. Kedua kakak Disti sudah menikah, tinggal dengan keluarga mereka masing-masing.
Disti berhenti bercerita menghela nafas, dan tersenyum pada ibu. "Sampai sana saja ya bu, Disti lelah. Ternyata Disti belum siap bu, Maaf."
Sepanjang dia bercerita, sepanjang dia mengingat memori itu, semakin memupuk rasa bencinya pada seseorang. Tidak, mereka.
Ibu sebenarnya masih sangat penasaran dengan akhir kisah yang anaknya tidak pernah ceritakan. Namun, air mata yang keluar setiap Disti bercerita membuat ibu lebih memilih untuk tidak egois.
Pria. Ibu sangat kenal laki-laki itu, dia orang yang pertama kali Disti perkenalkan pada keluarganya.
"Mbak, ibu tidak tau ada apa antara kamu dan Pria. Ibu mengenal dia dengan baik, jika dia membuat kamu kecewa sampai segitunya artinya dia gagal menepati janjinya pada ibu." Ibu bicara dengan halus, sembari menyisir rambut Disti dengan tangan lentiknya.
Disti menatap ibu, terdiam sebentar sampai "Dia pernah berjanji pada ibu, untuk menjaga kamu melebihi dirinya. Dia baik mbak, tapi ternyata ucapannya hanya belaka. Ibu tidak mau membenci seseorang terlebih ibu tidak tau seluruh ceritanya. Tapi kenapa rasanya hati ibu sakit mendengar ini."
"Dia memang baik bu, sangat baik sekali. Tapi kebaikannya yang menghancurkan hubungan kami bu." Disti bicara dengan tatapan yang sedikit menyimpan rasa emosi.
"Mbak belum siap bercerita sampai akhir gapapa kok, sekarang yang terpenting bagi ibu hanyalah mbak yang sudah menerima hidup kamu hari ini. Jangan benci dengan teramat mbak, hal itu tidak akan membuat kita merasa lebih baik" Ucap ibu sembari menyelimuti Disti dengan baik.
"Mbak tidur ya, ibu temani mbak malam ini." Sekarang, malam ini, setelah sekian lama. Disti kembali terlelap dalam dekap sang ibu, tidur dengan nyaman dan nyenyak seolah-olah mimpi menyambutnya dengan indah.
----Esoknya---
Disti hidup pada lingkungan keluarga yang lumayan erat, menjadi bungsu diantara para kakak membuat Disti selalu diperlakukan bagaikan anak kecil yang tidak bisa apa-apa.
Hari ini keluarga Disti sedang berkumpul bersama, bapak sudah kembali dari kampung, kedua kakak Disti pun sedang berkunjung ke rumah. Ramai, ini yang selalu Disti nantikan setiap dia kembali ke Indonesia.
"Bang, kalo gua nikah sama bule gimana?" Sebenarnya Disti hanya iseng saja menanyakan hal itu pada abangnya.
Abang Disti, atau orang-orang mengenalnya sebagai Riansyah. Seorang laki-laki berumur 29 tahun, yang bekerja dan berkecimpung pada dunia pariwisata, sangat jelas kerap kali bertemu dengan berbagai macam bentuk manusia.
Abang adalah orang yang kaku pada Disti, dia bukanlah tipe kakak laki-laki yang akan selalu berbicara dan penasaran akan hidup adiknya. Tapi satu hal yang selalu Disti sadari dari dia adalah tipikal seseorang yang tidak suka menghabiskan waktunya untuk hal-hal tang dia rasa tidak penting.
"Bule? Kamu pikir nikah sama orang luar itu mudah, banyak yang harus kamu pertaruhkan." Terlihat bukan, Jawaban yang sangat arogan.
"Ya emang gak mudah, Disti kan cuman tanya gimana pendapat abang kalo Disti nikah sama orang luar. Itu aja kok, gak usah emosi gitu dong." Heran Disti, abangnya ini tidak bisa sekali saja bicara dengannya tanpa emosi kah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Usai
RomanceKisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia berlari hingga lelah, sampai akhirnya ia hanya bisa pasrah. Bahwa cinta itu memang selalu untuknya...