Hidup kadang terlihat sangat sempurna di luar, mengundang jutaan pasang mata yang seolah ingin tau rasanya menjadi kita. Dalam dekap, dan lantunan sempurna kita seolah terbawa oleh dinamis kehidupan. Selalu, dan akan terus berjalan seperti itu.
Dunia sudah cukup memandang Disti terlalu baik-baik saja, karena bahkan jauh daripada itu. Disti tidak pernah benar-benar baik, topengnya saja yang terpasang sangat baik.
Mencintai kesendirian ditengah ramainya sekitar, memendam rasa sampai nurani saja tak mendengar. Mengatakan pada dunia seolah ini semua adalah bayangan semu untuknya.
Terikat, dan mengikat? Disti tidak pernah menaruh minat.
Waktu berjalan begitu cepat, sudah lebih dari dua pekan setelah kedatangan Pragia beserta sang ibu kerumahnya. Namun, hingga detik ini pula, setelah ribuan kali jarum jam berdetak Disti tetap tidak memberikan suaranya.
Walaupun dalam hitungan hari bisa lebih dari lima kali Pragia bertanya tentang apa jawaban dari wanita itu.
Bimbang yang mendalam membuat Disti seolah menjalankan hari dengan 'Pura-pura' biasa saja, dia tidak mau mengambil pusing karena seharusnya, memang dia tidak pusing dalam memberikan jawaban bukan?
"Anak orang jangan kamu gantung. Kasih kepastian." Suara ibu mengudara dari arah belakang meja makan.
Bu... Anak mu itu bukannya tidak mau mengasih kepastian, hanya saja dia tidak tau apa yang perlu di pastikan.
"Ibu kebayang gak kalo aku nikah?" Sembari mengunyah nasi goreng Disti bertanya, apakah ibunya terbayang jika dirinya menikah?
Ibu geleng-geleng mendengar pertanyaan Disti "Aneh kamu mbak. Sudah pasti kebayang lah, dari kamu kecil. Kalo kamu sedang tidur banyak hal tentang masa depan mu yang ibu pikirkan. Termasuk pernikahan."
"Nikah sulit kan bu? Pusing. Tih gak mau pusing." Buat kalian yang melihat Disti sebagai sesosok wanita impian masa kini, lebih baik kalian lihat ulang.
Sembari menuangkan teh hangat pada gelas Disti ibu bersuara kembali "Kamu ini kenapa? Katanya gak mau nerima. Tapi pusingnya udah kaya mau nikah besok."
"Biasanya orang kalo dasarnya suka ya begitu jadinya bu. Mikirin yang gak harus dipikirin." Bapak, kenapa harus ikutan sih.
"Tih bukannya suka, cuman takut kena karma nolak lamaran orang." Kalian percaya? Disti sendiri saja sebenarnya tidak percaya dengan dirinya.
Bapak meminum teh yang sudah disiapkan lalu duduk pada meja makan. Suasana rumah memang selalu sepi, hanya mereka bertiga, lalu mungkin setelah ini hanya dia, dan istrinya.
"Karma ya memang nyata adanya, tapi bukan berarti karma menentukan hidup kita selanjutnya. Kalo tidak yakin, Memangnya mau dipaksakan?" Realistis sekali bapak mah orangnya.
"Kalo aku gak mau nikah gimana pak?"
Bukannya jawaban yang Disti dapatkan, justru semburan teh dari bapaknya.
"Ngawur kamu, tak kirim ke pesantrennya Syilla kamu. Biar sekalian ngangon sapi di kampung." Enak saja, masa dia disuruh ngangon sapi.
Disti lemes, letih, lesu, dan merebahkan kepalanya pada meja makan. Sembari melebarkan telapak tangannya, dan menyentuh jari-jarinya.
"Nikah"
"Enggak"
"Nikah"
"Enggak"
"Nikah"
"Enggak"
"Nikah"
"Enggak"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Usai
RomanceKisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia berlari hingga lelah, sampai akhirnya ia hanya bisa pasrah. Bahwa cinta itu memang selalu untuknya...