Indonesia memang selalu memiliki tempat terindah sepanjang perjalanan hidupnya, bahwa sejauh manapun ia berkelana tempat kembalinya tetaplah pada mereka tercinta.
Hari ini banyak yang ia lewati. Dijemput di bandara, kemudian menghabiskan waktu bersama memandang alam sembari mengeluarkan isi hati setelah lama tertahan. Indah, jujur ini adalah hal yang sangat sederhana. Namun, entah mengapa seindah itu rasanya.
Pragia bertemu bapak, mereka akur. Selama masa persiapan pernikahan Pragia dan bapak benar-benar damai, senang Disti melihatnya.
Kekhawatiran bapak tentang orang-orang kaya, dan segala hal tentang mereka ternyata tak sebesar itu. Iming-iming kehidupan sejahtera hingga putrinya jauh lebih penting.
Biasa, namanya juga manusia. Duniawi selalu menarik hati.
"Kemana dulu tadi?" Tanya bapak yang sedang menonton video di hapenya.
Disti yang sedang lelah pun hanya menatap lalu menyenderkan tubuhnya pada sofa yang empuk. Nikmat sekali.
Merasa tidak di jawab, bapak menimpuk Disti dengan bantal.
"Bapak, capek. Mau tidur" Kesal Disti.
Menyingkirkan kaki Disti yang nangkring di sofa lalu duduk di sebelah Disti yang terpaksa bangun dari kenikmatan. "Apa sih pak, masih istirahat loh Disti."
"Kamu kok udah besar?" Ucap bapak dengan heran.
Disti justru yang seharusnya heran "Masa Disti mau kecil mulu pak? Gak tua-tua dong nanti."
"Nyindir kamu?" Balas bapak dengan sensi, apalagi ini.
"Nyindir gimana?" Katanya dengan heran.
Bapak menyetel televisi di hadapan mereka "Itu bawa-bawa tua, bapak tau. Bapak emang udah tua." Benar kata orang semakin bertambah umur maka semakin sensitif perasaannya.
Disti tertawa "Gak gitu maksud Disti."
Bapak menatap Disti dari atas hingga bawah, ini anak kecil yang sama dengan anak kecil yang selalu meminta segala hal padanya. Ini kah anak kecil yang sama, yang sangat sensitif dan baperan? Anak yang kalo diomongin sedikit pasti marah.
"Kenapa gak ajak-ajak ibu?" Sahut seseorang dari arah dapur.
"Sini bu gabung" Sahut bapak kembali, ibu lantas duduk di samping kiri Disti dan bapak di samping kanan. Posisinya sekarang Disti diapit oleh kedua orangtuanya.
"Anak bungsu kita sudah besar." Dari Disti remaja menginjak dewasa kata ini selalu Disti dengar dari ibu. Bahwa anaknya sudah besar.
Diapit kedua orangtuanya Disti merasa bahwa ia memiliki pelindung dalam hidup, saat dunia rasanya begitu berat. Kedua orangtuanya yang akan selalu ada untuk dirinya. Mungkin, Disti pernah hancur karena mereka. Namun, Disti bangkit lagi pun untuk mereka.
"Kamu berhenti beneran mbak?" Tanya ibu dengan hati-hati.
Disti menoleh lalu mengangguk "Gak sepenuhnya berhenti bu, Disti hanya tidak lagi keluar. Disti menetap disini."
"Banyak yang kamu korbankan?" Tanya kembali dari bapak.
"Hidup kan pilihan pak, untuk mendapatkan yang lebih kita butuh berkorban lebih." Balas Disti.
Ibu memeluk Disti, entah dunia apa yang sudah putrinya lewati sendiri. Seberapa banyak tangis yang ditahan dihadapan kedua orangtuanya. Entah keputusan hidup apa yang ia ambil tanpa memberitahu ibu dan bapaknya, sesakit apa rasa yang ia pendam dalam hatinya sendiri.
"Disti ibu tau hidup kita berat, terimakasih ya Disti sudah bertahan sampai hari ini. Makasih karena Disti tidak memilih menyerah." Katanya dengan pelan di telinga Disti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Tak Usai
RomanceKisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia berlari hingga lelah, sampai akhirnya ia hanya bisa pasrah. Bahwa cinta itu memang selalu untuknya...