"Rowena..."
*
Tenggara tersenyum tipis sambil menatap Rowena yang masih terlelap di hadapannya. "Jadi kapan lo mau bangun?" selanjutnya Tenggara tersenyum pahit. Hatinya sakit tiap melihat keadaan Rowena yang tiap hari tidak ada perbaikan. "Tolong jawab gue."
Pintu kamar yang semula tertutup rapat itu pun terbuka. Ketika Tenggara menoleh, ia melihat Ruby berdiri di balik pintu dengan wajahnya yang tidak ramah. Seperti biasa.
Dengan langkah lumayan cepat, Ruby berjalan mendekati ranjang Rowena. Setelah ia meletakkan barang-barangnya di atas meja, ia segera menatap tajam Tenggara. "Mau sampe kapan lo bebal?"
Tenggara hanya diam sambil menatap balik wajah Ruby yang satu pipinya terluka akibat dirundung Ratu CS tadi siang di sekolah.
"Pergi." Usir Ruby kemudian.
Lagi-lagi Tenggara hanya diam.
Ruby yang kesal pun mendecak. "Gue bilang pergi! Jangan pernah temui Rowena lagi!"
"Nggak. Gue pengen terus ketemu sama Rowena."
"Udah deh, Rowena bukan siapa-siapa lo yang wajib lo temui tiap hari."
"Nah. She's everything to me."
Senyum sinis segera tergambar di wajah Ruby. "Bullshit."
Tenggara kembali memperhatikan Rowena. Ia tidak peduli dengan usiran Ruby.
"Cepetan keluar! Keluar!" namun Ruby juga tidak peduli dengan keinginan Tenggara. Ruby yang tengah diselimuti emosi, mendorong tubuh Tenggara. Untung saja Tenggara punya ketahanan fisik yang baik, sehingga ia tidak perlu malu terjatuh di hadapan Ruby. Alih-alih jatuh, ia justru sekarang berdiri. Jika Ruby sudah berani membawa-bawa fisik, maka Tenggara sudah mulai terganggu.
"Berapa kali gue bilang? Lo pergi dan jangan pernah temui Rowena lagi! Lo tuh penyebab Rowena jadi begini!"
"Karena itu gue di sini! Buat nebus kesalahan gue karena udah jadi penyebab Rowena jadi begini!" nada bicara Tenggara terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.
"Justru keadaan lo di sini cuma bakal memperburuk keadaan dia!"
"Lo bukan dokter yang tau tiap detail perkembangan dia!"
"Ya, tapi gue adiknya! Gue anggota keluarganya! Gue berhak ngatur siapa aja yang boleh dan nggak boleh nemui Rowena!"
Mata Tenggara menyipit menatap Ruby, "Apa ini yang Rowena mau?"
"A—"
Ucapan Ruby terpotong begitu saja ketika tiba-tiba ia dan Tenggara mendengar bunyi dari alat medis yang memonitor kinerja organ tubuh Rowena. Tidak hanya itu, mereka berdua juga melihat Rowena yang tiba-tiba kejang.
Saking kagetnya, Ruby sampai diam mematung. Ia benar-benar kaget, sekaligus takut karena mengira kakak satu-satunya akan meninggal saat ini juga.
Berbeda dengan Ruby, Tenggara justru segera memegang tubuh Rowena sambil melihat ke arah monitor alat medis yang berbunyi itu. Matanya membelalak melihat diagram denyut jantung Rowena yang melemah. "Panggil dokter sekarang!" serunya cepat pada Ruby.
Ruby yang terlalu syok tidak mendengar seruan Tenggara.
"RUBY, PANGGIL DOKTER SEKARANG!" Tenggara pun membentak Ruby sekencang-kencangnya.
Barulah Ruby tersadar dan segera berlari secepatnya untuk memanggil dokter.
*
Beberapa saat kemudian, keadaan Rowena sudah kembali normal. Ia sudah tidak kejang-kejang seperti tadi. Detak jantungnya juga sudah tidak melemah seperti tadi. Bisa dibilang, ketakutan yang Ruby rasakan tadi tidak benar-benar terjadi. Hal ini membuat Ruby ingin menangis karena lega. Namun hal itu tidak ia lakukan. Sebisanya ia tahan karena saat ini masih ada Tenggara di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
she
Teen Fiction(COMPLETE) Alih-alih "move on", Tenggara malah bertemu dengan seorang gadis yang sama persis dengan dia. Begitu mirip, sampai Tenggara nyaris tidak bisa membedakan dia dengan dia yang pernah hidup di masa lalunya.