Bagian 2

52 5 0
                                    

"Gue nggak akan betah di sini, atau di mana pun kalo nggak ada dia."

*

"Gar, kantin yuk!" tiga hari semenjak Saul meminta maaf, mendadak cowok itu jadi sok akrab dengan Tenggara, seolah-olah ia tidak pernah berbuat salah pada Tenggara barang satu kali. Teman-teman yang kemarin sempat ia ajak untuk mengeroyok Tenggara sampai heran. Jangan-jangan yang Teagan bilang waktu itu benar. Saul memang tidak punya harga diri.

"Nggak." Tenggara segera menolak. Ini merupakan ajakan Saul yang keempat kalinya. Namun sekali pun, Tenggara tidak pernah meloloskannya.

"Sekolah 7-8 jam tiap hari dan lo nggak pernah makan, tapi lo masih bisa mukulin orang yang ngeroyok lo. Lo manusia apa kingkong, man?"

Tenggara langsung melirik tajam setelah Saul menyebut salah satu nama binatang.

"Canda, Gar, canda." Saul segera menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tidak berani berlama-lama melihat lirikan Tenggara.

Sebenarnya Saul tidak salah. Memang sejak Tenggara bersekolah di SMA Patriot, sekali pun Tenggara tidak pernah terlihat di kantin. Berdasarkan laporan Alfred—salah satu dari dua anak yang Saul anggap tidak berbahaya di kelas—Tenggara selalu menghabiskan waktu istirahatnya dengan tidur di kelas.

"Gar!"

Muncul seseorang memanggil nama Tenggara dari luar kelas 12-4 yang membuat Tenggara menoleh dan sedikit melebarkan mata.

*

"Gue ngerasa kudet banget, baru tau kalo lo pindah di sini." Reo tersenyum miring untuk dirinya sendiri yang baru hari ini mengetahui bahwa siswa baru di SMA Patriot yang beberapa kali dibicarakan cewek-cewek di kelasnya adalah Tenggara alias Gara.

"Gue juga baru tau kalo ada lo di sini." Balas Tenggara sambil menikmati sekaleng kopi dingin pemberian Reo.

"Serius?" Reo menaikkan kedua alis, seperti tidak percaya.

Tenggara tidak bertanya melalui kata-kata, ia bertanya lewat mimik yang artinya, 'kenapa?'

Bukannya mau menyombongkan diri. Reo alias Gerasky Reoland merupakan salah satu cowok populer yang jumlah penggemarnya bejibun. Baik dari yang seangkatan, maupun yang para adik kelas. Bahkan dulu saat ia masih duduk di kelas 10 dan 11, tidak sedikit kakak kelas yang menggemarinya. Karena apa? Benar sekali. Pastinya karena ia tampan dan yes, berada. Dua kombinasi itu memang kombinasi paling sempurna untuk dijadikan sebagai cowok most wanted bukan? Untuk tinggi, pintar dan yang lainnya, itu point plus. Pasti beberapa atau bahkan banyak yang sependapat dengan pendapat seperti ini:

"Nggak papa nggak tinggi, yang penting ganteng."

"Nggak papa nggak pinter, yang penting kaya."

Benar tidak?

"Gue ganti pertanyaan gue. Kenapa lo ke sini?" Reo menoleh, menatap Tenggara yang duduk di sebelahnya.

"Bokap."

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Reo bisa tau kalau alasan kepindahan Tenggara karena 'bokap' pasti berurusan dengan pekerjaan ayahnya. Ia pun menganggukkan kepala sambil kembali bersuara. Kali ini dengan nada dan mimik yang serius. "Soal Mantra, lo udah denger?"

"Hm." Tenggara mengangguk sambil memutar-mutar kaleng kopi di tangannya.

"Kita harus berterima kasih sama Miro."

"Ceweknya, juga Davis."

Reo tersenyum. "Josie ya? Yeah, tanpa orang-orang gila itu, kita nggak mungkin bisa bebas."

Tenggara menghembuskan nafas kasar. Jika mengingat ia pernah bergabung ke dalam sebuah geng bejat bin sesat bernama Mantra, ia benar-benar kesal. Itu adalah salah satu kesalahan sekaligus kesesatan fatal yang nyata yang pernah ia lakukan. Niat hati ingin menghibur diri, ia malah jatuh dalam dunia hitam.

Mantra adalah sebuah geng yang bisa dibilang besar. Namun Mantra bukan sekedar geng motor yang hobi ugal-ugalan di jalanan atau geng di mana para anggotanya memiliki motor yang bagus dan mahal. Orang miskin, tak punya apa-apa asal punya nyali, sudah sangat cukup bisa untuk join di geng ini.

Geng Mantra tidak memiliki atribut khusus seperti jaket kulit dengan logo tengkorak atau apa pun itu dikarenakan geng Mantra bergerak secara diam-diam alias tidak mencolok. Bahkan siapa yang akan tau, kalau salah satu cucu dari keluarga ternama yang bergelimang harta juga bisa menjadi bagian dari geng seperti ini.

Geng di mana para anggotanya dipaksa untuk melakukan pekerjaan kotor seperti menjadi perantara pengedaran obat-obatan terlarang, perdagangan manusia dan organ tubuh, serta penghilangan nyawa. Satu-satunya bisnis gelap yang tidak mereka lakukan hanyalah prostitusi saja.

Bergabung di Mantra, membuat Tenggara jadi mengenal Reo. Reo yang entah karena apa bisa masuk ke dunia hitam tersebut, pernah beberapa kali dipasangkan dengan Tenggara dalam menjalankan misinya. Reo bertugas mengantar barang ke Bali, Tenggara akan menerimanya di Bali. Dalam berbagai kesempatan, Tenggara bahkan pernah bertolak ke Jakarta demi misinya bersama Reo. Pun sebaliknya, Reo yang bertandang ke Bali.

Dalam melakukan misi tersebut, mereka berdua harus lihai dan ekstra hati-hati. Karena jika sampai lengah sedikit saja, maka taruhannya adalah masa depan dan bukan tidak mungkin... nyawa mereka! Soalnya dulu sempat pernah ada kejadian, di mana salah satu anggota Mantra berhasil terciduk polisi. Alih-alih mendapat hukuman dari polisi, anggota Mantra tidak beruntung tersebut lebih dulu dibunuh oleh ketua geng sebelum masalah makin panjang.

Tetapi kini baik Tenggara maupun Reo sudah tidak perlu lagi melakukan hal seperti itu. Dikarenakan geng Mantra dinyatakan bubar secara resmi setelah ketua Mantra yang bernama Trevor dijebloskan ke penjara berkat bantuan keluarga Mahameru.

"Jadi, lo bakal stay di sini? I mean, tanpa menggendong misi Mantra kayak dulu lagi?" Ketika masih bergabung di Mantra, Tenggara memang baru akan datang ke Jakarta—itu pun diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya—jika punya task dari Trevor yang mengharuskannya untuk datang ke markas yang memang ada di Jakarta.

Tenggara berdecak. Apa teman Mantra-nya ini sebodoh itu? Kalau ia sudah terdaftar di sekolah ini, artinya Tenggara akan stay bukan? Tidak untuk singgah sementara bukan?

Melihat wajah bete Tenggara, Reo pun mendengus. "Udah dikasih mulut masih aja males ngomong."

Tenggara tidak merespon dengan kata-kata lagi. Ia kembali menenggak minumannya.

Untung saja Reo sudah mengenal Tenggara. Jadi ia sudah cukup terbiasa dengan sikap Tenggara yang seperti ini. Reo pun menegakkan punggung, kemudian menepuk satu bahu Tenggara. "Lo pasti betah di kota yang nggak pernah tidur ini." Setelah itu, Reo pun pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Sambil terus berjalan, ia melambaikan tangan pada Tenggara yang masih tertinggal di belakang.

"Nggak. Lo salah. Gue nggak akan betah di sini, atau di mana pun kalo nggak ada dia." Tenggara berbicara lirih pada dirinya sendiri saat Reo sudah tidak terlihat lagi.

sheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang