Bagian 46

6 1 0
                                    

"Besok malem kesempatan lo."

*

"Kenapa lo nggak ngomong apa-apa ke gue?!" Reo langsung menodong saat sudah berhasil membawa Tenggara ke atap sekolah, di mana hanya ada dirinya dan Tenggara saja sehingga ia bisa berbicara bebas tanpa khawatir ada yang mendengar.

"Soal apa?" Tenggara balas bertanya.

"Teagan."

Tenggara mencoba mencerna perkataan Reo. Sudah pasti arah pembicaraan kali ini bukan soal Sybil, melainkan soal masa lalu kelam yang pernah mereka berdua jalani.

"Gue ketemu Miro sama Josie kemarin."

"Oh." Tenggara tidak terlalu terkejut kalau Reo mendengarnya dari Miro dan Josie. Ia baru akan terkejut jika Reo mendengarnya langsung dari Teagan. "Terus kenapa lo marah?" namun Tenggara cukup heran, kenapa Reo terlihat marah.

"Ya gue marahlah! Di antara kalian cuma gue yang kayak orang tolol, nggak tau apa-apa!" nada bicara Reo naik satu oktaf.

"Teagan juga nggak tau lo mantan anggota Mantra." Sangat berbeda, Tenggara benar-benar chill.

Reo menoleh cepat, menatap Tenggara tidak percaya. "Lo nggak ngomong kalo gue jadi pernah jadi bagian geng bajingan yang diketuai kakaknya?"

"Buat apa?"

Reo makin-makin marah. Dirinya tak hanya seperti orang bodoh, tetapi juga seperti anak bawang tak berdaya yang harus mendapatkan perlindungan oleh Tenggara. Bahkan Miro, Josie dan Davis. "Oke, biar gue bilang sendiri ke Teagan!" Reo bersiap pergi, namun ucapan Tenggara menahan langkahnya.

"Jangan usik dia."

"Kenapa?" tanya Reo dengan nada menantang.

"Dia udah hidup tenang." Sebetulnya Tenggara tidak mau mengatakan ini. Tetapi ia harus mengatakannya, mengingat semengerikan apa hidup yang pernah Teagan lalui, yang bahkan jauh lebih buruk dari kehidupan keluarganya sendiri.

Sejak kecil hingga sekarang, Tenggara tidak pernah kekurangan kasih sayang dari anggota keluarganya. Sekali pun Tenggara tidak pernah dibentak apalagi dipukul. Sampai sekarang bahkan ayah dan ibunya selalu memperlakukannya seperti bayi.

"Cih!" Reo kembali melangkah.

"Pertama, gue nggak bakal tinggal diam kalo lo usik dia." Kedengaran menggelikan bukan, mengingat sebelumnya Tenggara tidak pernah bertindak seperti ini untuk orang lain. Tenggara sendiri heran, kenapa ia harus melakukannya. Mungkin karena ia mulai menerima Teagan sebagai temannya.

Langkah Reo kembali terhenti. Ia yang sudah mengenal Tenggara cukup lama, dibuat kaget mendengarnya. "Kedua?" lagi-lagi Reo bertanya dengan nada menantang.

"Lo bukan tandingannya."

*

Setelah urusannya dengan Reo selesai, Tenggara pun berjalan menuruni tangga hendak ke perpustakaan seperti biasa. Kebetulan karena memang waktu istirahat siang ini masih tersisa cukup panjang. Jadi daripada terganggu di kelas, lebih baik mendinginkan kepala di perpustakaan saja.

"Kok lama?" suprisingly, sudah ada Ruby di tempat biasa Tenggara berada di perpustakaan. Dari pertanyaannya, jelas menunjukkan bahwa Ruby sudah dari tadi menunggunya.

Tenggara tidak menjawab. Ia langsung menarik kursi sembari meletakkan buku pilihannya.

"Habis dari mana?" Ruby kembali bertanya.

Lagi-lagi Tenggara tidak menjawab. Ia sudah fokus dalam buku bacaannya.

Ruby pun diam, memperhatikan cowok itu dari samping. Sejak mendapat ultimatum dari Teagan, Ruby jadi harus hati-hati kalau mau mendekati Tenggara. "Gar,"

sheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang