Bagian 24

12 1 0
                                    

"I love you so bad, Sybil..."

*

Angin semilir menyapu wajah dan rambut Sybil sehingga helaian rambutnya bergoyang dan sesekali mengenai wajah. Sudah sore begini, angin sudah terasa dingin. Mungkin ini salah satu pertanda lain selain langit mendung bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Akan tetapi Sybil tidak bergerak dari tempatnya. Selama seseorang di sebelahnya tidak bergerak lebih dulu.

"Rowena Amore." Gumam Sybil lirih, membaca nama yang tertulis pada nisan di hadapannya.

Tenggara yang berjongkok di sampingnya tidak mengatakan apa-apa. Cowok itu terus memperhatikan nisan Rowena sejak kedatangannya ke makam Rowena sepulang sekolah dengan mengajak Sybil tadi.

Sebelumnya Sybil sudah siap memarahi Tenggara karena lagi-lagi cowok itu bertindak di luar nalar—memeluknya. Namun setelah Tenggara meminta waktu untuk menjelaskan alasannya melakukan itu, Sybil jadi tidak tega untuk marah-marah padanya.

Sybil bersimpati padanya. Bagaimana tidak, baru saja orang yang ia kenal meski tidak baik-baik amat, telah kehilangan orang yang ia suka. Pasti itu menyesakkan, menyedihkan, menyakitkan.

Langit kian menggelap. Namun Tenggara masih belum bergerak dari tempatnya. Terlihat jelas cowok itu masih ingin menemani Rowena lebih lama meskipun pada saat pemakaman empat hari lalu, Tenggara juga menemaninya sampai benar-benar menjadi orang terakhir yang pergi dari pemakaman.

Perlahan tapi pasti, rintik hujan mulai berjatuhan. Menjatuhi siapa saja yang dikenainya. Termasuk Sybil yang refleks menengadah saat ia merasakan tetesan rintik hujan. Memang hujan yang turun tidak langsung sebesar dan selebat itu. Bentuknya masih seperti tetesan gerimis. Tapi Sybil yakin, gerimis ini berpotensi menjadi hujan yang lebih besar. Karena itu, ia pun menoleh pada Tenggara.

Apakah Tenggara juga masih akan tetap menemani Rowena di kala hujan begini, di saat ia membawa Sybil bersamanya? Jujur saja, Sybil sedikit keberatan jika harus hujan-hujanan.

"Ayo." Untung saja Tenggara peka. Cowok itu mengajak Sybil pergi dari makam Rowena begitu tetesan hujan kian lebat.

*

Mobil yang Tenggara kendarai sudah sampai di depan rumah Sybil. Sesuai janjinya, cowok itu benar-benar mengantar Sybil pulang. Tak mau berlama-lama, Sybil segera turun setelah berpamitan singkat.

"Maafin gue. Lo udah kerepotan hari ini karena gue."

Ucapan Tenggara yang tiba-tiba terdengar, membuat Sybil yang sudah siap membuka pintu, kembali menoleh menatap Tenggara yang tengah menatapnya. "O-oke."

"Gue nggak bisa tahan diri pas liat lo tadi." Lanjut Tenggara.

Sybil diam karena tidak tau harus bicara apa.

"Lo terlalu mirip sama Rowena. Sampe gue kira Rowena hidup lagi." cowok itu menunduk sambil menghela nafasnya yang berat.

Lagi-lagi Sybil hanya bisa diam. Mau bagaimana pun, Sybil juga mengakui dirinya memang mirip dengan Rowena. Jadi sangat wajar bagi Tenggara apabila melihatnya akan mengingatkannya pada Rowena.

"Thanks."

*

Percuma. Sybil tetap tidak fokus meski sudah ia coba sejak satu jam yang lalu. Buku pelajaran di hadapannya seperti lembaran kosong tak ada arti karena di otaknya saat ini terus kepikiran dengan Tenggara.

Wajah pilu cowok itu masih terekam di matanya. Ucapannya masih terdengar di telinganya. Tangisnya masih teringat di ingatannya. Dan pelukannya masih terasa di tubuhnya.

sheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang