50 - Pergi tanpa Pamit

1.4K 61 76
                                    

–––

"Tak ada yang jauh lebih menyakitkan dari perpisahan tanpa adanya kata pamit."

–––

Langit-langit putih yang tampak tidak asing samar-samar mulai terlihat. Seorang gadis dengan seragam putih abunya akhirnya bangun setelah tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Lehernya yang tergores itu mulai terasa perih dan berdenyut.

"La yaampun akhirnya lo sadar juga!!" Seru Ara penuh dengan perasaan leganya. Kedua matanya tampak bengkak. Hidungnya memerah menyerupai buah tomat. Terlihat jelas bukan kalau sahabatnya itu sangat mengkhawatirkannya sejak Ila hilang kesadaran?

Ila segera bangkit dari posisi terlentangnya yang kemudian langsung dibantu oleh Ara. Gadis itu kemudian membenarkan posisi duduknya sampai menemukan titik nyamannya.

"Gimana La? Apa yang kerasa? Masih sakit ga?" Ara langsung menyerangnya dengan beberapa pertanyaan saking ia khawatirnya.

Belum sempat Ila merespon pertanyaan dari Ara, perhatiaannya sudah lebih dulu tersita dengan sebuah berita yang muncul pada televisi yang ada di hadapannya. Berita tentang seorang cowok yang baru saja ingin ia tanyakan kabarnya.

Tentang Gerhana Adnan Putra.

Ila menggelengkan kepalanya tak berhenti. Gadis itu tentu masih belum bisa menerima dan tidak akan pernah bisa menerima berita yang baru saja ia dengar itu dari salah satu channel yang kebetulan sedang disiarkan pada televisi di ruangan itu.

Gerhana telah menjadi seorang buronan. Namanya sudah tercatat resmi dalam daftar pencarian orang (DPO) karena kasus yang kemarin. Aksi pembelaan terhadap kakaknya justru malah menimbulkan masalah yang jauh lebih besar.

Berita yang diedarkan pada media benar-benar jauh dari faktanya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dari kejadian yang sebetulnya terjadi di lapangan.

Sungguh, Ila tak habis pikir mengapa semua ini bisa terjadi. Langit seakan-akan memihak sepenuhnya pada sang kriminal yang sesungguhnya membuat dunia ini terasa semakin tidak adil.

"Gak mungkin," lirihnya.

Satu tetes air matanya kembali lolos membasahi pipinya. Dadanya kembali terasa sesak. Hatinya terasa sangat amat sakit bahkan melebihi luka pada lehernya sendiri yang sama sekali belum sembuh.

Ara tak bisa berkata-kata. Bahkan untuk sekedar menenangkan sahabatnya saja ia tidak sanggup. Gadis itu kembali menangis di sebelahnya. Ia bisa membayangkan sesakit apa Ila saat ini.

Ila melirik pada sahabatnya yang selama ini menunggunya untuk siuman bersama dengan Junar.

"Ra ini boong kan pasti? Gerhana di mana Ra?"

Ila langsung mengalihkan pandangannya pada pria yang berdiri di sebelah Ara saat ini. "Jun, lo yang janji sama gue kalau Gerhana bakal aman-aman aja, sekarang mana janji lo?!"

"Dimana Gerhana Jun, gue mau ketemu sama dia," lanjutnya.

"Maaf La, gue gak bisa mastiin dia aman kalau lo waktu itu ada di sana juga, amanah gue dari Gerhana itu jagain lo dulu La sebelum gue jagain dia. Dia yang minta gue ngeprioritasin buat lindungin lo," balas Junar dengan lesunya.

"Harusnya lo gak ikutin omongan dia Jun, harusnya dia yang lo selamatin!" Pekik Ila tidak terima.

Kedua mata Junar mulai berkaca-kaca. "Maaf La, maaf gue gagal. Maaf gue cuma bisa nyelamatin salah satu dari kalian aja."

Junar merogoh sakunya. Cowok itu kemudian memberikan sebuah benda pipih dengan layarnya yang sudah sangat hancur akibat terinjak-injak. Benda pipih elektronik yang tentunya tidak asing di mata Ila.

GANJIL & GENAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang