44 - Penolakan

524 41 0
                                    

–––

"Tak ada yang lebih kejam dari menerima cintanya tanpa adanya perasaan."

–––

Sagara mengacak-acak rambutnya frustasi. Entah mengapa akhir-akhir ini otaknya tidak bisa diajak berkompromi. Entah apa yang membuat cowok itu kesulitan untuk menjawab soal-soal latihannya. Bahkan ia nyaris gagal dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memecahkan soal yang tergolong mudah.

Sagara menjauhkan dirinya dari meja belajarnya. Cowok itu segera melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Sepertinya ia perlu untuk beristirahat sejenak.

Ralat.

Sepertinya bukan rehat yang ia butuhkan. Selama seharian ini ia tidak melakukan aktivitas yang memberatkan dirinya. Bahkan sebagian besar waktunya ia habiskan untuk rebahan sejak tadi.

Ada sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya semenjak ia mengetahui perasaan Aurora yang sesungguhnya. Kalau boleh jujur, Sagara sedikit terganggu akan hal itu.

Sagara menyerah. Ia sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi dalam kondisi seperti ini. Mau bagaimana pun juga masalah ini harus diluruskan segera. Jangan sampai persahabatannya retak hanya karena perasaan yang tak seharusnya tumbuh itu.

Tanpa berpikir panjang cowok itu segera menelepon Aurora. Setelah sekian lama akhirnya Sagara kembali menghubunginya. Setelah sekian lama akhirnya kedua orang itu kembali berkomunikasi tanpa adanya seorang perantara.

"Halo Ra?" Sapa Sagara ketika sambungan telepon itu sudah terhubung.

"E–eh iya Gar ada apa? Tumben nelepon gini."

"Besok lo free gak?"

"Hmm sejauh ini belum ada rencana mau kemana-mana sih, kenapa gitu?"

"Gue mau ketemu bentar bisa ga?"

"Ayok gass, tapi paling sorean aja gapapa gak biar bareng Angkasa juga kesananya."

"Gue mau ngobrol sama lo berdua."

"Tanpa Angkasa."

"Bisa gak?"

Tak ada jawaban. Hening seketika. Sagara tau apa yang ia katakan akan membuat lawan bicaranya terkejut. Ia tahu Aurora pasti akan kebingungan dengan permintaannya. Maka dari itu ia sudah tidak kaget dengan reaksi yang gadis itu berikan terhadapnya.

Sagara memilih untuk memecah keheningan

"Halo Ra, lo masih disana kan?"

"Eh iya Gar, bisa kok."

"Kalo gitu pagi atau siang aja deh."

"Lo gak mau Angkasa nyusul kan ya? Dia ga bisa di jam-jam segitu soalnya."

"Oke jam 9 ya, tar gue jemput lo ke rumah."

"Oke Garr berkabar aja."

Sagara segera memutuskan panggilan itu secara sepihak. Alih-alih merasa tenang cowok itu justru semakin cemas. Sagara tidak bisa membayangkan sebanyak apa air mata yang akan gadis itu keluarkan karenanya.

Tapi ya mau bagaimana lagi. Tak ada pilihan yang jauh lebih baik dari jalan yang Sagara ambil. Semakin ditunda tentu akan semakin menyakitkan.

Mustahil jika Sagara bisa menyelesaikan ini semua tanpa menyakiti perasaan siapapun. Tapi setidaknya dengan cara ini ia tidak menggali luka sahabatnya semakin dalam. Setidaknya.

– – –

Jantung Aurora sontak berdegup dengan cepat kala ia tak sengaja melihat mobil sedan hitam yang baru saja muncul dan berhenti tepat di depan rumahnya. Dari plat nomornya Aurora tentu sudah tahu siapa yang baru saja datang. Mobil sedan yang dulu sempat Aurora tumpangi beberapa kali sebelum ia resmi berpacaran dengan Angkasa.

GANJIL & GENAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang