Pagi-pagi sekali Haechan sudah berdiri di pinggir sawah seraya menggerutu, pemuda manis itu tengah merasa kesal lantaran tak di biarkan kembali tidur setelah sahur.
"Ngantuk banget ish, bisa-bisanya si ustadz gadungan itu ngajak gue ke sawah jam lima pagi begini" keluh nya seraya mencabuti rumput liar yang berada di sekitarnya.
"Merengut terus, udah kayak anak kecil yang gak di kasil jajan kamu tuh" wajah si manis makin di tekuk begitu mendengar ucapan Renjun.
"Situ yang gak berperikemanusiaan ngajak gue ke sawah pagi buta begini, sedangkan orang lain aja jam segini masih tidur nyenyak di atas ranjang. Dan lu dengan gak merasa bersalah nya malah nyalahin gue begini" kata Haechan kesal.
Renjun yang melihat itu hanya terkekeh pelan, jujur saja menurutnya Haechan semakin terlihat mengemaskan jika tengah marah-marah seperti itu.
"Mau tidur!, gue mau tidur!. Huwaaa... ibu Haechan ngantuk banget" tangis Haechan pecah begitu rasa kantuk nya semakin menjadi.
"Udah, udah jangan nangis. Haduh cengeng banget sih ini gembrot satu" tangisan Haechan makin menjadi begitu mendengar ucapan Renjun.
"Tidur disini aja ya?, tungguin saya selesai kerja jangan malah nanti kamu kabur. Nih pake biar gak di gigit nyamuk" Renjun yang merasa kasian pun akhirnya membawa Haechan ke salah satu saung yang tak jauh dari sawah miliknya.
Dengan masih sesenggukan Haechan mengambil sarung milik Renjun yang berukuran besar jika dirinya yang memakai.
"Tidur ya?, tenang kok saung nya bersih saya jamin gak akan ada eek ayamnya" Haechan hanya megangguk menanggapi ucapan Renjun, matanya benar-benar sudah berat jadi dengan mudah dirinya langsung tertidur begitu sudah merebahkan tubuhnya di atas saung yang berlapis kayu itu.
"Umurnya benar-benar sembilan belas tahun kan?, tapi kenapa kelakuan nya malah seperti anak kecil begini?" kata Renjun sembari menggeleng pelan, tak habis pikir dengan kelakuan Haechan yang malah mirip seperti anak kecil daripada seorang remaja.
Renjun akhirnya lebih memilih melanjutkan pekerjaannya, dirinya tengah mencabuti rumput liar yang berada di sekitar padinya menggunakan alat seadanya.
Langit sudah cerah ketika Haechan membuka matanya, pemuda manis itu menguap kecil seraya mengumpulkan nyawanya yang masih belum terkumpul sepenuhnya.
"Sudah bangun?" Haechan menoleh ke arah Renjun yang barusan bertanya, Haechan sedikit terpana ketika melihat Renjun yang tengah mengipasi dirinya menggunakan peci.
Rambut hitam Renjun yang acak-acakan serta keringat yang memenuhi wajah pemuda tampan itu mampu membuat nya tak berkedip untuk beberapa saat.
"Haechan?" Haechan tersentak begitu mendapati wajah Renjun yang sudah berjarak beberapa senti darinya.
"B-buta lu?, udah jelaskan mata gue udah melek berarti udah bangun. Tapi masih aja di tanya kaya orang bego aja" Renjun meringis pelan ketika mendengar ucapan si manis.
"Hahahaha... Baiklah tak usah marah-marah begitu, heran saya tuh kamu mirip sekali seperti perempuan Marah-marah terus kerjaannya. jangan-jangan kamu perempuan yang tengah menyamar menjadi laki-laki?" tuduh Renjun sembari memperhatikan si manis dari bawah hingga atas.
"Bangsat!, sembarangan gue cowok tulen ya. Kalau gak percaya nih liat sendiri" Haechan sudah akan menurunkan celana training nya kalau saja tak segera di cegah oleh Renjun.
"Saya hanya bercanda, kamu jangan ambil serius seperti itu" kata Renjun panik sembari menahan tangan si manis yang akan melorotkan celananya tanpa rasa malu.
"Habisnya situ, ngajak ribut mulu" Kata Haechan kesal sembari mendorong tubuh Renjun untuk menjauh darinya.
"Baiklah saya minta maaf, kamu jangan marah lagi" Haechan hanya mengangguk malas menanggapi ucapan Renjun.
"Gue mau pulang" Renjun hanya menghela nafas melihat si manis yang sudah berjalan terlebih dahulu.
"Benar-benar seperti anak gadis" gumam nya seraya memakai peci nya kembali kemudian menyusul si manis sembari menenteng barang-barang yang tadi dia bawa dari rumah.
Dua puluh menit mereka berjalan menyusuri tepi sawah dengan saling berdiam, Renjun sebenarnya tak suka suasana canggung begini hanya saja melihat Haechan yang sepertinya tak akan membalas perkataan nya dengan baik-baik jadi Renjun lebih memilih diam.
Begitu sampai di rumah Haechan langsung masuk tanpa sepatah kata pun, membuat Renjun yang melihatnya di buat uring-uringan.
"Haduh marah lagi nih pasti itu gembrot satu" gumam Renjun sembari memijat keningnya dengan pelan.
Renjun akhirnya lebih memilih memasuki rumah seraya memikirkan segala cara untuk membujuk si gembrot kesayangannya.
"Renjun nyebelin, Renjun nyebelin. Dasar ustadz gadungan suka banget bikin gue emosi" kata si manis sembari memakai baju koko yang Renjun beri.
"Kolot banget anjir bajunya, dia gak tau gaya apa gimana?. pantes aja gaya dia kaya bapak-bapak" Haechan memperhatikan baju koko yang Renjun beri untuknya dengan seksama, benar-benar tidak modis Haechan memberi bintang satu untuk gaya berpakaian Renjun.
Tok tok tok
Haechan sedikit tersentak begitu mendengar pintu kamarnya di ketuk, dengan malas Haechan berjalan ke arah pintu kamarnya.
Sebenarnya Haechan sedang tak ingin berbicara dengan Renjun saat ini, namun dirinya ingat jika Renjun adalah pemilik rumah yang saat ini tengah dirinya tinggali jadi dengan rasa sopan yang tertinggal sedikit Haechan membukakan pintu untuk Renjun.
Cklek
"Ikut saya" belum sempat Haechan bertanya tapi tangannya sudah di tarik begitu saja oleh Renjun.
"Dasar mas ustadz gendeng"
TBC
segini dulu ya, entar di lanjut lagi kalau udah ada ide.