47

11.6K 1.3K 74
                                    

Happy reading...

"Cakra aja yang bawa," ucap Cakra ketika melihat kedua tangan mamahnya yang memegang kantung plastik.

"Ga usah, biar Mamah bawa sendiri aja. Ayo buruan, muka kamu udah agak pucat, pasti kecapean tuh."

Cakra menghela napas, lalu menyusul sang mamah yang sudah berjalan di depannya. Saat keluar dari pintu restoran, mata Cakra tak sengaja menangkap seseorang yang dia kenal baru saja keluar dari sebuah mobil yang berada di seberang jalan, itu adalah Oma Evi.

Cakra jadi teringat dengan ucapan kurang ajarnya yang mungkin saja menyakiti perasaan oma-nya waktu itu, oma-nya? Boleh kah dia memanggilnya seperti itu? Sepertinya tidak, karena Oma Evi masih belum menerima kehadirannya.

Cakra berpikir, apa dia harus meminta maaf sekarang? Karena besok dia harus berangkat dan ada kemungkinan dia tidak akan kembali dalam waktu dekat, itu pun jika pengobatannya berhasil, bagaimana kalau tidak?

Saat ingin melangkah ke depan Cakra berpikir kembali, bagaimana kalau Oma Evi justru mengusirnya?

"Adek ayo pulang!"

Itu adalah teriakan Sofia, Cakra mendengarnya dengan jelas. Mungkin dia akan meminta maaf kepada oma nanti saja, pikir Cakra. Namun, saat akan berjalan ke arah sang mamah, Cakra justru melihat sang oma yang menyeberang tanpa melihat ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu. Cakra membulatkan mata saat sebuah mobil sedan dengan kecepatan di atas rata-rata melaju ke arah oma, tanpa pikir panjang Cakra langsung berlari untuk menolong oma-nya.

"Oma!"

Cakra berteriak membuat Oma Evi yang melihat Cakra berlari mendekat ke arahnya pun refleks berhenti dan menatap Cakra dengan bingung. Dirinya dibuat kaget saat Cakra tiba-tiba saja mendorong tubuhnya ke belakang sampai dirinya terjatuh di pinggir jalan.

Brakk

Tubuh Cakra terhantam oleh mobil dari arah samping dan sempat terseret beberapa meter dari tempat kejadian. Oma Evi yang melihat kejadian itu secara langsung dan begitu cepat membeku di tempat dengan mata yang bergetar.

Darah segar mulai menggenang di sekitar tubuh Cakra, satu kata yang Cakra rasakan saat ini adalah sakit, amat sangat sakit. Bayang-bayang dirinya bersama sang ayah, mamah, abang, beserta teman-temannya berputar di kepala. Sayup-sayup dia mulai mendengar langkah kaki mendekat diiringi suara teriakan dan tangisan.

"Cakra!"

Itu adalah suara Devan, Cakra mengenalinya dengan jelas membuat senyum tipis terbit di bibirnya.

"A-bang," lirih Cakra dengan napas tersendat dan kedua sudut mata yang mengeluarkan air mata.

Devan mendekat dan berjongkok di samping Cakra, tangannya bergerak ingin menyentuh, tetapi dia takut kalau adiknya itu akan merasa kesakitan.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Devan, berlomba-lomba untuk keluar sampai tanpa sadar, air mata itu telah terjun membasahi kedua pipinya. "Cak, kenapa bisa gini ..." Devan berkata sangat lirih melihat wajah sebagian sang adik yang sudah tertutupi oleh darah,

David yang baru saja sampai langsung memangku kepala Cakra, tangannya bergetar melihat banyaknya darah yang keluar dari satu sisi kepala Cakra. "A-adek ... ini Ayah, sayang ...," ucap David, air mata sudah membasahi pipinya sedari tadi.

Sofia sendiri membeku beberapa langkah dari tubuh Cakra, dirinya tak berani mendekat, air matanya turun dan mulutnya seolah terkunci ketika melihat bagaimana tubuh Cakra yang hampir tertutupi oleh darahnya sendiri.

"PANGGIL AMBULANCE!!" Devan berteriak kesetanan dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

Beberapa orang di sana langsung menghubungi ambulans untuk segera datang.

MEMORIES (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang