49

10.6K 1.1K 51
                                    

Happy reading...


Dua hari telah berlalu pasca Cakra dinyatakan koma dan belum ada perubahan apapun sampai detik ini.

Pagi ini, Devan dan David sedang berada di kantin rumah sakit untuk sarapan karena mereka belum pulang sama sekali sejak Cakra dibawa ke rumah sakit. Hanya Sofia yang sesekali pulang, itu pun hanya untuk mengambil baju ganti miliknya beserta David dan Devan. Setelah itu, dia langsung berangkat kembali ke rumah sakit.

Untuk makan, mereka membelinya dari luar atau menyuruh bi Tuti untuk memasak dan mengirimkannya ke rumah sakit. Terkadang, mereka juga membeli makanan yang ada di kantin, seperti David dan Devan sekarang, Devan bahkan merasa kalau rumah sakit sudah seperti rumah ke duanya.

Sofia sendiri saat ini sedang berada di ruang ICU, memandangi wajah Cakra yang masih betah memejam mata, ntah apa yang Cakra impikan sampai dia enggan untuk bangun.

"Anak Mamah lagi mimpi apa, sih? Betah banget tidurnya sampe ga mau bangun."

Sofia mengelus lengan Cakra dengan pelan karena ada beberapa goresan di sana. Sofia takut menyakiti sang anak.

"Tadi pagi mamah pulang sebentar buat ambil baju dan Adek tahu? Sebagian buah pisang punya Adek udah ada yang busuk, jadi Mamah buang, deh. Kasihan ya buahnya, ga ada yang makan. Makanya Adek cepet bangun biar pisangnya ga Mamah buang semua."

"Eh ga pa-pa, nanti Mamah beli yang baru aja biar lebih enak dan masih seger pas dimakan. Lagian uang papah masih banyak, jadi Adek ga perlu khawatir. Nanti kalo Adek bangun kita pergi ke mall lagi, ya. Kita jalan-jalan buat abisin uang papah, gimana?"

Sofia menghembuskan napasnya lelah, lalu mengelus pipi Cakra. Pipi itu tampak sedikit tirus membuat Sofia merindukan pipi gembul milik anaknya.

"Adek ketemu sama bunda, ya? Lagi kangen-kangenan sama bunda, iya? Ketemu sama Abang Dean juga, ga? Adek lagi main juga ya, sama abang? Mainnya jangan lama-lama ya, sayang. Soalnya mamah udah kangen ... emang Adek ga kangen sama Mamah, hm?"

Mata Sofia mulai berkaca-kaca ketika ingatan di mana dirinya melihat Cakra yang tergeletak dengan darah yang mengelilingi kepalanya. Hatinya terasa sakit mengingat wajah kesakitan Cakra.

"Maafin Mamah yang ga becus jagain kamu ya, sayang ... setelah ini Mamah janji, Mamah bakalan jagain kamu lebih ekstra lagi, Mamah--" Ucapan Sofia terhenti digantikan oleh isak tangis yang memenuhi ruangan tersebut.

"Mamah .... Mamah udah anggap kamu sebagai anak Mamah sendiri, jadi Mamah mohon jangan tinggalin Mamah ... Mamah ga mau kehilangan lagi ...."

Sofia semakin menangis saat melihat sudut mata Cakra yang mengeluarkan air mata. "Cakra denger mamah, kan? Mamah tahu Cakra denger suara Mamah ... jadi Mamah mohon bertahan ya, sayang ...," ucap Sofia dengan tangan menghapus air mata yang terus menetes. Yah, Cakra memang selalu menangis setiap kali ada yang mengajaknya berbicara.

Sofia kembali memandangi wajah Cakra cukup lama. Sampai akhirnya dia terkejut saat mata itu terbuka dengan pelan, Sofia tersenyum senang sampai tak terasa air mata kembali menetes membasahi pipinya.

"Bun ..." lirih Cakra tak begitu terdengar karena masker oksigen menghalangi sebagian wajahnya.

Sofia menghapus air matanya kasar, mencium kening Cakra cukup lama. "Terimakasih sayang, terimakasih sudah bertahan, Mamah panggil om dulu, ya."

Sofia dengan cepat pergi ke luar. Saking senangnya, Sofia sampai lupa bahwa di ruangan itu terdapat tombol yang terhubung langsung dengan dokter dan perawat yang berjaga.

Sofia terus berlari sampai akhirnya dia melihat Antonio yang sedang berjalan ke arahnya bersama dengan beberapa perawat.

"Ton!"

MEMORIES (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang